Tujuan
tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.
Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat
rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan
jasadnya.Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatiNya adalah roh yang suci.Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah
pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
Tidak
mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang
mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa
dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi
banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat,
terutama salat dan puasa.
2. Saf
(baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di
mesjid.Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan
banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
datang.Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat
dengan Tuhan.
3. Ahl
al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai
suffah, (pelana) sebagai bantal.Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai
apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula
sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos
(bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum
sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena
kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis
dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf
(kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan
tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan
kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara
semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal
kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri
dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama
memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF
Karena
tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa
aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang
mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan
diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang.
Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan;
dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.Rahib-rahib
itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.Sufi juga mengasingkan diri
dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka
menolong.
Pengaruh
filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras.Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian
turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu.Roh yang
pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke
tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan
memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan
beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin
di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi
oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia.Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui
ibadat yang banyak.
Masih dari
filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh
memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan
Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap
tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah
bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan
Dia di bumi ini.
Paham
penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu
memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak
akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi
ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.Tapi, konsep Plotinus
tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf
Islam.
Dari agama
Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana.Nirwana dapat dicapai dengan
meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri.Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam.Sedangkan
pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan
Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi.Dalam tasawuf terdapat
pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu
mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama
sebelum Islam.Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan.Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti
historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut
diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam
sendiri?
Hakekat
tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia.Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut
al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan
orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi
mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan
seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru.
Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat
kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan"
(QS. al-Baqarah 115).Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat
dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut
menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah
Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya.Dan
Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya
(QS.Qaf 16).Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia,
tetapi di dalam diri manusia sendiri.Karena itu hadis mengatakan, "Siapa
yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari
Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang
dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi
Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau
lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi
melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk
lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan
melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini
terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang
bersatu dengan Tuhan.Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan
manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud,
kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah
ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada
manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan
Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan
Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
JALAN
PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
Jalan yang
ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan
akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri.Bertahun-tahun
orang harus menempuh jalan yang sulit itu.Karena itu hanya sedikit sekali orang
yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab),
dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang
intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang
dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil
berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke
stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan
melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka,
seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam
ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara
berangsur.
Jelas kiranya
bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang
adalah tobat dari dosa-dosanya.Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah
tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang
dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari
dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan
syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat
orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi walau sekecil apapun.Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion
ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri
ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan
lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan
hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana.Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh
kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani,
dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.
Kalau
kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik
haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari
perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat.Bisyr al-Hafi tidak bisa
mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion
wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia
tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah
menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya
dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima
percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak
meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya
ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada
kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk
hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram.
Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih
berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion
tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang
percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk
surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci,
yang ada hanyalah perasaan senang.Ketika malapetaka turun, hatinya merasa
senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah
dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan
hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena
stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi
orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi
baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion
berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
PENGALAMAN SUFI
Di masa awal
perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut
atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa
waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan
perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat
yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut
hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan.Pada stasion
ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke
stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya.Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi.Ketiga,
Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai
Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat
yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat
54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat
'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka
turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
Hadits juga
menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya.Orang
yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
Sufi yang
masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita
bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada
Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak
meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang
ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada
Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga,
tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat,
"Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku
karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari
pandanganku."
Sewaktu malam
telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta
telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan,
"Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku
gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak
sehingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan
selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan
pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi
hatiku."
Pernah pula
ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari
kesenanganku.Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh
hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya
kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada
Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
Cinta tulus
Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari
syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua
cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
Rabi'ah
al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah.Ia
telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang
menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman
ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah
Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan.
Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan
sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang
dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun
ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan
mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak
melihat dan tidak tahu Tuhan."
Yang dimaksud
Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan.
Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras
mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga
dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari
atas.
Dalam
hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala,
tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya,
pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb.Kedua, daya
untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh.Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang
disebut sirr.
Sirr adalah
daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan
jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang
kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang
besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak,
makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat
menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena
itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Kata ma'rifat
memang mengandung arti pengetahuan.Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti
pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu.Pengetahuan ini
disebut ilm ladunni.Ma'rifah berbeda dengan 'ilm.'Ilm ini diperoleh melalui
akal.Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu
ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu 'ilm.Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit
syak.Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh
mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama,
kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah
adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah
Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu
bangun hanyalah Allah.Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi,
cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena
tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi
yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya
dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi
merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat
lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam
istilah tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini
ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang
ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang
keras dan waktu yang lama.Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad.Ia menjawab, "Tiga tahun,"
sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin
mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion
ittihad.
Sebelum
sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan
baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti
tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain
akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana
dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari
maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal
dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu
yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu.
Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
Untuk sampai
ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam
arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi
tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah
yang disebut kaum sufial-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah,
dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri
Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai
fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga
aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup.
Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku
gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya,
dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku
adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
Dalam
menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang
dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk
lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran
sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah ittihad."
Ketika sampai
ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam
istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi
aku tidak.Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."
Abu Yazid
tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan
masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di
hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada
Tuhan selain Engkau.
Dia juga
mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah
hamba yang hina.Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah
Raja Maha Kuasa."
Kara-kata ini
menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan.Lalu, dia
berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti
halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu
dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"
Tuhan
menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.
Masalah
ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu
ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku
ingin melihat engkau.Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka.Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata,
telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau,
karena ketika itu aku tak ada di sana."
Dialog antara
Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan.
Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu
Yazid.Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya,
"Hiasilah aku dengan keesaan-Mu."Permintaan Abu Yazid dikabulkan
Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut
ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku."Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."
Dalam
literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain
dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti
kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai
Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku,
"Engkaulah Yang Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu."Ia
berkata lagi, "Engkau adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah
Aku."
Yang penting
diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku
menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi).Kata-kata bihi -melalui
diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur
dalam diri Tuhan.Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang
mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui
Abu Yazid.
Dalam arti
serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan
kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah
Allah.Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku."
Dalam istilah
sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa
terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat
kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari
syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari
Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata
diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang
mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,
"Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa.Di dalam
jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang
mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung
pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang
diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain
yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj
(858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena
dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris.
Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman
persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul.Kalau Abu Yazid
mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami
persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi.Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam
didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
Di sini
terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum
tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut
(kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).Landasan
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang
menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadits ini
mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut lahut manusia.Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj
sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang
Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Dengan membersihkan
diri malalui ibadat yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah
lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan
terjadilah hulul.
Hal itu
digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan
dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam
syair berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau
lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas
itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana
'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya
dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan
al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia
ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
Syatahat atau kata-kata teofani sufi
seperti itu membuat kaum syari'at menuduh
sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf
bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas
ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang
mementingkan hakekat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang
terkenal adanya pertentangan keras antara kaum
syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi.
Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan
pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran
yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf
sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat
fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan
al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
Kalau filsafat, setelah kritik
al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak
berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya
banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman
persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa
al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul,
Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi
al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek.
Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang
merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar
yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek
luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu
al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits
yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah
"harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka
diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam
sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam
sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan
kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan,
wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung
pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini
kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu.
Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa
cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di
dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin,
dirinya kelihatan banyak, tetapi
pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang
banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang
mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan
panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta.
Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan
alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan
sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan
bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam
hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud
dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran
al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh
Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman
al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan
mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam
keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut
kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah
muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan
menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.
Di antara semua makhluk-Nya,
pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala
sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli
atau penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada
semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna
terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat
Insan Kamil, sufi mesti mengadakan
taraqqi (pendakian) melalui tiga
tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari
oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian,
Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih,
Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat
tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi
demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam,
sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli
dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia
menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat
ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk
(shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan
yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara
antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat
dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara
semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat
dalam diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta
hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri
atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan
Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal
sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang
dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi
besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad
ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad
ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi
(w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar
(w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul
pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair.
Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia,
Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin
Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar
tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat
menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk
menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi
ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga
timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat yang
menekankan pentingnya kehidupan rohani dan
mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu
menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga
mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang
dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad
ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam
masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin
mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di
Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat
Bekhtasyi dan dalam perlawanan
mereka terhadap pembaharuan yang diadakan
sultan-sultan, mereka mendapat sokongan
dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu
orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan
umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada
kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau
pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama
Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah
satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda
oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang
pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi
meterialisme yang melanda dunia
sekarang, perlu dihidupkan kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan
akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting.
Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam
diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan
pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian
dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.
Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala
orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian
lalu mencari hidup kerohanian di Timur.
Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian
dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang
mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.
Dalam hubungan itu kira-kira
30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya
Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang
satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya
bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah
meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat
Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran
sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari
nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan
tantangan seperti sekarang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar