CINTA
(dalam perspektif TasauF)Oleh : Effendy Asmawi Alhajj
Desain sampul : EA’s Computer
Lay out : Mutiara Offset Batam
Hal cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
@ 2007
http://www.hmeasmawi.com
e-mail : effendy@hmeasmawi.com
Cetakan I, Juni 1995 / Muharram 1416
Cetakan II, Oktober 2007 / Syawal 1428
Diterbitkan oleh :
Yayasan Paramakkiya Batam
PO.Box 1002/BTAMN-Batam Island 29444
Telp/Fax : 0778- 7020324 / 451547
Mobile phone : 081536006299
bagi
pen-CINTA TAsaUF
pen-CINTA TAsaUF
CINTA
bukanlah sesuatu
yang harus dipelajari
dari manusia, melainkan
sebagai karunia Tuhan dan
berasal dari kasih & sayang-Nya
dan jika seseorang memiliki cinta
maka dia tidak lagi tunduk di
bawah kekuatan yang lebih
besar dari dirinya
sendiri
sebab
dia
sendiri
sudah menjadi
kekuatan yang besar
Tafakkur Penulis
Al-hamdulillah, tulisan CINTA (dalam perspektif TasauF) ini dapat diselesaikan, walaupun ini merupakan ” editing ” dari tulisan terdahulu yakni CINTA (menurut pandangan TasauF) yang diterbitkan oleh AMII Kota Batam pada tahun 1995 / 1416 H, maka kami perlu mengangkat kembali, karena itulah cinta sesuatu yang dapat memberikan nuansa tersendiri sekaligus memberikan motivasi dalam setiap derap langkah kegiatan.
Cinta (dalam perspektif TasauF) ini memberikan gambaran bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dipelajari dari manusia melainkan sebagai karunia Tuhan dan berasal dari kasih dan sayang-Nya.
Dan jika kita memiliki cinta, berarti kita sudah mendapatkan suatu kekuatan dalam diri kita sendiri. Cinta sesuatu yang indah dan mengasyikkan, demikian ungkapan di kalangan Sofi, lebih-lebih cinta kepada Allah – Khaliqul Alam.
Demikian, terima kasih dan semoga bermanfaat, amin.
Batam, Oktober 2007
Syawal 1428
Penulis,
Effendy Asmawi Alhajj
Kata-kata CINTA adalah sosok kalimat yang sering memberi banyak nuansa arti. Pada kondisi tertentu dapat memberikan makna yang perasa. Karena muatannya cukup menyentuh nilai dan rasa manusia.
Oleh sebab itu thema CINTA sesuatu yang cukup menarik untuk dibicarakan oleh banyak kalangan termasuk kalangan SUFI.
Fenomena CINTA memberikan lambang dari A sampai Z yang eksisnya cukup besar dalam proses hidup dan kehidupan, oleh sebab itu perlu ditata.
Penataan tentu dilakukan sebagai prediksi pada satu konsekuensi agar berjalan sesuai dengan garis ketentuan.
Dalam konsepsi TasauF, penataan manajemen cinta (kalau boleh disebut demikian) memiliki hirarki yang menduduki strata tertentu, yaitu CINTA kepada Allah dan Rasul serta diikuti dengan ijtihad yang merupakan peringkat posisi pertama.
Dengan demikian rumusan CINTA seperti ini akan melahirkan sosok seorang Muslim yang kaffah.
Dan akan memetik hakikat CINTA yakni rindu yang mendalam terhadap Sang Pencipta Allah swt.
Sehingga harta, tahta dan wanita serta kondisi yang lainnya tidak akan dapat mengusik rindu, CINTA yang abadi.
Demikian konteks perwujudan CINTA, ada dua kriteria tentang CINTA ;
Pertama, ” CINTA ATHIFIYAH ”
Cinta Athifiyah yakni cinta yang bersifat emosional, bergelora dan penuh kehangatan yang melahirkan semangat sekaligus kesiapan untuk membela.
Kedua, ” CINTA MINHAJI ”
Yakni suatu cinta yang dilandasi tidak hanya semata-mata perasaan tapi juga tindakan dan amal perbuatan yang terarah sesuai dengan ketentuan dan normatif yang berlaku.
Pada klimaksnya CINTA merupakan perwujudan refleksi imany, sebagai seorang sufi cinta ini terlihat dengan sikap mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Cinta seperti ini merupakan hal perwujudan imany dalam konteks yang positif dan konstruktif. Untuk itu Rasul saw memberikan tiga dimensi kriteria dalam bercinta ;
a. Lebih mencintainya ketimbang mencintai diri sendiri.
...”tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya dari pada bapaknya, anaknya atau seluruh manusia”...
( HR. Bukhari ).
b. Menumbuhkan ketaatan dan ketundukan.
Cinta athify terhadap Rasul saw wajib disertai dengan ketaatan dan ketundukan bukan perasaan emosional semata.
Sebab dalam konteks ini ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya itulah yang akan memiliki nilai di hadapan Allah nanti.
Bahkan dalam dimensi ini jika ada orang yang mengaku beriman tapi ternyata hawa nafsunya belum bisa dikalahkannya.
...”tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”... (HR.Bukhari-Muslim).
c. Sanggup berkorban demi cinta
Rangkaian kisah generasi pertama banyak menggambarkan keteladanan manusiawi yang mengagumkan tentang gelora cintanya pada Allah, Rasul dan pengorbanan untuk sesuatu yang bernama CINTA.
Kisah Zaid bin Datsnah yang diriwayatkan oleh Baihaqy dari Urwah ra adalah satu literatur yang menarik untuk diketengahkan merupakan salah seorang Sahabat Rasul saw yang hendak diekskusi di Tan’im dan sebelum ekskusi itu dilaksanakan Abu Sofyan (ketika itu masih musyrik) berkata kepada Zaid ;
... ya Zaid, aku bersumpah kepadamu jika kau mau, Muhammad berada di sini untuk menggantikanmu, kau penggal kepalanya dan kau akan kukembalikan pada keluargamu.
Tapi apa jawab Zaid, sungguh aku tak rela Muhammad sekarang yang berada di tempatnya terkena duri sedikitpun, sedangkan aku bersantai bersama keluargaku.
Sebuah jawaban yang konsekuensinya membuat Abu Sofyan tercengang.
Perasaan cinta yang mendalam seperti inilah, sebagai refleksi imany.
Untuk mewujudkan nilai cinta, kaum sufi membedakan tiga jenis organ untuk komunikasi rohaniah, yaitu Qalbu (hati) untuk mengetahui Tuhan, Ruh (jiwa) untuk mencintai-Nya dan Sirr (bagian jiwa yang mendasar) untuk merenungi-Nya.
Memang akan seperti menyelami laut dalam apabila kita ingin membahas masing-masing istilah tersebut. Namun demikian uraian singkat dari kata pertama dari ketiga kata tersebut cukup memberikan penjelasan.
Qalbu, walau dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung atau hati jasmani, tapi memiliki kemampuan untuk mengetahui esensi segala sesuatu dan apabila disinari imany dan pengetahuan maka akan tergambarkan keseluruhan kandungan pikiran ke-Ilahi-an.
Melalui suatu gerbang, hati segera akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan, sedang lewat gerbang yang lain akan digoda oleh ilusi dari perasaannya.
...’di sini dunia dan di sana juga dunia’ ucap Jalaluddin Rumi, dan aku duduk di ambang keduanya’...
Sehingga manusia memiliki potensi untuk terjatuh lebih rendah dari binatang yang
paling hina atau lebih luhur dari malaikat yang selalu patuh kepada-Nya.
Lebih rendah dari binatang terendah karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memungkinkannya untuk bangkit.
Tetapi lebih pula dari malaikat karena ia bukan subjek dari nafsu, sehingga dirinya tidak dapat terjatuh.
Lantas, bagaimana manusia dapat mengetahui tentang Tuhan ? Bukan melalui perasaannya karena IA bukan wujud yang material. Jika bukan dengan intelek karena IA tidak sepenuhnya terjangkau oleh pikiran.
Maka dengan ‘mahabbah’ (cinta) yang mendalam yakni dengan shalat yang da-imun membangkitkan rasa, tunduk kepala kepada-Nya merupakan kunci makrifah terhadap pengenalan eksistensi-Nya.
...”lihatlah batinmu sendiri”.... ujar para Sufi, pengenalan Tuhan sebenarnya ada di dalam hatimu,
Mereka yang benar-benar mengetahui dirinya sendiri maka ia akan mengetahui hal-ihwal Tuhan. Karena hati merupakan cermin yang memantulkan setiap kualitas ke-Ilahi-an.
Tetapi sebagaimana halnya dengan besi, apabila cermin dilapisi dengan karat maka akan menghilangkan kemampuannya untuk memantulkan sehingga perasan rohani yang oleh karena sufi disebut sebagai hati akan buta terhadap keindahan syurgawi hingga kegelapan yang menyelimuti fenimena diri, dengan segala kotoranperasaanya sepenuhnya dapat dibersihkan maka kejernihan apabila akan dicapai secara efektif harus melalui kerja Tuhan, walau memerlukan kerjasama dengan bagian dalam manusia.
Mereka yang mencari Tuhan demikan ungkap NIFFARI, ada 3 (tiga) kelompok ;
Pertama, mereka yang rajin beribadah kepada Tuhan, selain DIA melihatnya dengan lautan rahmat-Nya. Seperti mereka yang mengabdinya dengan harapan mendapat syurga-Nya dengan harapan mendapat syurga-Nya atau berbagai impian ganjaran/ kelebihan.
Kedua, para Filosofi atau ahli ilmu kalam skolaristik yang kepada mereka Tuhan menjadikan dirinya dapat dikenali melalui keagungan-Nya.
Mereka tidak pernah menemukan keagungan Tuhan yang mereka coba cari, mereka meyakini bahwa esensi-Nya tidak akan pernah dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia.
Dalam ucapan mereka kita tahu bahwa kita tidak tahu tentang-Nya dan inilah pengetahuan kita.
Ketiga,’ kaum mahabbah ’ yang mengetahui tentang Tuhan melalui estase mereka ini dimiliki dan dikendalikan oleh ketenangan yang mampu mengekang kesadarannya tentang eksistensi pribadi.
Inilah aksioma cinta di kalangan SUFI yang merupakan mikrokosmos (tiruan dari cinta Tuhan), untuk menuju ke maqam idaman, hakikat kehidupan.
Jalaluddin Rumi, dalam kumpulan lirik ’the Divan of Shamsi Tabriz’ berujar ;
aku telah membuang jauh kegandaan
aku telah melihat bahwa dunia
hanyalah satu, sekali aku
mencari, sekali aku
menyeru, aku
sudah kepayang
dengan cawan cinta
dua dunia telah meninggalkan
cakrawalaku dan akupun tak berurusan
baik dengan anggur
ataupun keselamatan
*****
Omar Khayyar berucap ;
n e r a k a
hanyalah pantulan
derita nan tiada guna
syurga
adalah desah napas
dari masa kebahagiaan
*****
Fitz Gerald dalam coupletnya ;
syurga
hanyalah pandangan yang puas keinginan
neraka
hanyalah bayangan dari jiwa yang terpanggang api, terperangkap dalam gelap, itulah kita
dan siapa lambat tiba, akan segera
kadaluarsa
*****
Hidup adalah rangkaian peristiwa dan setiap peristiwa ada terdapat di dalamnya rasa cinta. Cinta memang sebuah fenomena kasih seseorang, maka dengan demikian cinta merupakan nikmat Tuhan yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Perasaan kasih, senang, gembira, canda-ria dan sayang adalah perwujudan dari CINTA.
Cinta memang unik dan sangat sulit diterjemahkan dengan kata-kata tapi cinta adalah sentuhan terjemahan perasaan yang mendalam pada konteks kasih dan perwujudan sayang.
Uniknya perasaan cinta, bisa melompati nilai dan pagar tatanan. Oleh sebab itu mentari rela bersinar sepanjang hari dan rembulan bersedia memancarkan sinar sepanjang malam demi rasa cinta pada tatanan dan aturan Sang Pencipta.
Cinta bisa dikonotasikan menurut segi dan pandangan oleh sebab itu CINTA bersifat universal yang makro, sesuai dengan kebutuhan dan dimensi yang memandangnya. Cinta memang unik, syahdu dan amat sensitif.
Prospek cinta selalu dinamis, estetis mempunyai suatu responsibility terhadap milleu. Kepekaan nilai tersebut berkembang sesuai dengan era dan tuntutan perkembangan serta sesuai dengan bergesernya nilai tatalaksana dan tatapergaulan.
*****
Ada ungkapan bahwa cinta itu buta, cinta itu syahdu, cinta itu asyik, cinta itu aduhai yang serba glamour dan sebagainya. Tapi ada juga yang mengatakan cinta itu kejam, cinta itu menyebalkan, cinta itu gelap dan menyeramkan.
Berbagai persepsi pernyataan cinta tersebut melambangkan persuasi pengalaman dan peristiwa atau rangkaian peristiwa dalam liku dan nuansa kehidupan.
Carilah kesucian cinta dan cinta itu laksana pohon bukan buah, maka siramlah supaya berbuah. Cinta utuh hanya datang dari Tuhan dan dari seorang Ibu yang keibuan.
Hidup dalam cinta adalah tantangan hidup yang paling besar. Manusia tidak mempunyai selain pilihan untuk mencintai. Sebab kalau tidak dia mendapatkan alternatifnya terletak pada kesepian, kehancuran dan keputus-asaan.
Cinta memang sejuta rasa, sejuta reka, sejuta masalah dan sejuta langkah. Dan jika seseorang memiliki cinta maka dia tidak lagi tunduk di bawah kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri, sebab dia sendiri sudah mnjadi kekuatan yang besar.
Demikian kaum sufi menggunakan gaya figuratif sebagai simbol dalam perwujudan cinta kepada Sang Pencipta.
Cinta, qua cinta adalah satu dan realita yang sama dengan (yang dicintai oleh orang) dan aku.
Namun objek cinta kita ternyata berbeda, aku mencintai Yang Nyata.
Adalah pola bagi kita karena hanya Tuhanlah yang dengan cinta-Nya dapat menunjukkan dengan cara-Nya sendiri. Karena manusia telah dijajah oleh akalnya sehingga membuatnya tidak menyadari tentang dirinya sendiri.
Bentuk Sufi dalam mencintai Tuhan, mereka acap kali melihat (tanda-tanda kebesaran) Tuhan di dalam seluruh makhluk-Nya dan pergi kepada mereka dalam amal saleh. Amal seorang yang saleh akan tidak bermakna bila tidak diiringi CINTA.
Ibnul Araby menyatakan bahwa Islam sepenuhnya adalah agama CINTA, sebagaimana juga Rasul saw adalah yang dicintai Allah (al-Habib).
Cinta sebagai substitusi kualitas yang untuk berkualitas dari yang mencintai. Dengan kata lain, cinta menghendaki melenyapnya diri pribadi.
Inilah karanuman yang tidak dapat dikendalikan, suatu karunia Tuhan yang harus digali melalui ibadah dan renungan yang sungguh-sungguh. (Junaid).
Cinta Ilahi memang di luar batas rincian hanya tanda-tandanyalah yang dapat dirasakan.
Cinta masih merupakan misteri syurga telah menginspirasi hampir seluruh agama dengan nama dan bahkan memberikannya bukan dalam penjelasan yang masuk akal, melainkan melalui kedalaman dari intuisi.
Sinar rohani ini memiliki bukti tersendiri, barangsiapa mampu melihatnya berarti memiliki pengetahuan sejati dan tiada sesuatu yang dapat menambahi atau mengurangi kepastiannya.
Oleh sebab itu kaum Sufi tidak pernah menonjolkan bagian iman yang dianggapnya tidak berguna karena sifatnya yang mengagungkan bukti-bukti intelektual, wewenang eksternal atau mementingkan pribadi dan lain sebagainya.
Rabiatul Adawiyah bermunajat dalam doanya ;
merasa bersatu dengan Tuhan
walau sesaat akan lebih baik ketimbang
seluruh ibadah manusia sejak permulaan
hingga akhir dunia (Syibli).
*****
Untuk mengungkapkan perasaan cinta yang mendalam Rasul saw bersabda dalam doanya ;
Doa Rasul saw ini sebahagian dari doa beliau mencintai Tuhan. Menandakan kepada kita bahwa mencintai Allah bukanlah pekerjaan mudah, apabila sudah mendapatkannya belum tentu pula akan tetap pada kita.
Hati adalah satu-satunya bahagian unsur jasmani yang sangat metafisik. Kekuasaan kita kepada hati tidak ada. Kekuasaan Allah atas hati kita boleh menjadi contoh untuk mengetahui kekuatan Allah yang sebenarnya.
TasauF yang selalu bertujuan mencintai Allah lebih dari segala yang lainnya, mempunyai dimensi GETAR, dimensi ILHAM, TASBIH & METODE.
Dimensi ‘getar’ tasauf yaitu rindu kepada Allah, dimensi ‘ilham’ mencari-cari Allah seperti bertemu dan tidak bertemu, seperti mendapat tetap tidak tahu apa yang di dapat.
Dimensi ‘tasbih’ tenggelam habis dalam keindahan malakut Allah swt.
Sedangkan dimensi ’metode’ fana-sempurna di hadapan Tuhan Yang Mahatinggi.
Apabila kita membaca riwayat orang-orang Sufi, akan kita ketemukan dengan segala bentuk keindahan, segala kasih sayang yang penuh perasaan kesucian.
Hidup dalam kamus orang Sufi adalah lagu dan rindu, mencintai dan dicintai. Karena itu kita akan melihat orang Sufi di mana mereka berada, mereka akan selalu memuji Allah dengan kata-kata yang indah, mulia sebagai orang yang selalu dekat kepada-Nya.
Pikiran, gerak-gerik dan semua aktivitasnya berjiwakan CINTA pada Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila mereka melihat, maka dengan mata yang mencari Tuhan serta mencintai-Nya.
Pandai sekali mereka mencari kata-kata yang dapat menggambarkan cinta mereka kepada-Nya. Mereka menggubah kata-kata indah yang penuh pesona, melebihi cinta seorang pemuda yang jatuh cinta kepada pemudinya adalah suatu jiwa cinta yang bebas dari segala pengaruh dimensi dan nuansa apapun.
Sambil membaca ayat-ayat al-Qur’an ia muliakan Allah, kemudian ia melihat segala yang ada pada alam ini baik. Walaupun penghidupannya susah tetap ia pandang baik, karena pencipta dan penetapannya adalah Yang Maha Baik.
Semua jiwa dan hati manusia pada dasarnya baik karena yang memberikan hati & mengilhami jiwa adalah Yang Maha Baik.
Seluruh alam ini ciptaan Khaliq dan semuanya itu baik. Sebab alam ini merupakan ayat-ayat yang menyatakan sifat dan perintah-Nya yang baik kepada kita.
Baik dan buruk itu adalah hubungan kejadian-kejadian, kemudian terlepas dari kejadian tersebut, hasilnya akan menjadi baik karena memang datangnya dari Khaliq Yang Maha Baik.
Hati dan isi hati serta pengilhaman hati manusia semuanya baik, kalau ada yang merasa kurang baik karena ia melihat dan merasakan hanya pada waktu itu saja, tidak melihat secara komprehensif hikmah yang terjadi pada masa yang akan datang.
Amsal, susah itu baik walaupun berat merasakan, tapi kesan dan pendidikan dari susah itu membawa hikmah menuju perbaikan.
Berdasarkan pandangan hidup dalam cinta kepada Allah, maka orang-orang Sufi itu berada lebih tinggi dari nilai hidup orang-orang kebanyakan. Mereka ingin dekat kepada Tuhan dan selalu ingin dekat kepada-Nya.
Kemudian kasih sayang dan cinta kepada Tuhan bukan di mulut saja dan bukan dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil saja, tetapi harus mengalir ke dalam setiap tetesan darah yang mengalir di dalam dirinya, menyusuri perasaan pancaindranya terus menembus perasaan sensitifnya yang mengorbitkan sifat-sifat yang lemah-lembut, ramah tapi mengerti dan tahu harga diri yang selalu berkomunikasi dengan Khaliq Yang Serba Maha.
Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Agung dan Maha Penuntut serta Maha Penyiksa atas sifat dan orbitan aktivitas makhluk-Nya.
Kemudian hayat orang Sufi itu naik lagi mengikuti dinamika cintanya kepada Allah swt.
Ada yang sampai ruhnya di sekeliling arasy, ia mustaq di hadirat Rahman yang telah
menjadikan segala sesuatu berdasarkan sifatnya Yang Maha Rahman.
Karena sifat Rahman-Nya itu ia mencintai makhluknya yang mencintai-Nya. Tuhan mencintai mereka, hanya mereka yang tidak tahu arti cinta kepada-Nya.
Kalau mereka tahu arti cinta yang sebenarnya kepada Allah, sebentarpun mereka tidak mau lalai dari mencintai Allah. Sudah pasti mereka akan lebih mencintai Allah ketimbang mencintai seluruh isi dari kehidupan ini.
Mereka mabuk dalam cinta kepada Allah maka segala yang dilakukan yang ditetapkan Allah mereka cintai.
Cinta mereka tidak dinilai menurut baik atau buruk akibatnya kepada makhluk-makhluk yang terkait, apatah lagi diri mereka dan keluarganya tapi mereka mengambil hikmah Allah dalam segala af’al-Nya. Karena itulah jiwa mereka terus naik mendekati titik klimaks Allah. Hanya raga mereka yang berada di alam dunia, bersama orang-orang ramai sedangkan jiwa dan roh pikiran mereka terus mendekati
Tuhan, hidup di sekeliling ’malaikatulmuqarrabin’ dengan arwah syuhada dan shalihin.
Untuk menciptakan nuansa kerinduan orang-orang sufi mempunyai wirid dan amalan-amalan ‘yaumiyah’ (harian),
Cinta memang unik, syahdu dan mengasyikkan, tidak hanya oleh sepasang remaja yang dirundung cinta nestapa tapi juga cinta ternyata mempunyai nilai estetis tersendiri bagi orang-orang sufi.
Mereka sangat arif dalam memilih dan menggapai rindu nuansa keindahan dalam menyimpai patri arti kehidupan.
Maka mereka mempunyai pandangan kebebasan dalam menginterpretasikan makna cinta sesuai dengan jalan dan pandangan mereka.
Pendapat itu antara lain ;
a. Cinta Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauzi
Ibnul Qayyim al-Jauzi adalah seorang Ulama yang sufi dan negarawan. Beliau memberikan pandangan tentang cinta sebagai berikut ;
Allah ciptakan makhluk
manusia dan
jin untuk menyimpai
cinta memuji dan mengabdi
dalam pelukan kerinduan kepada-Nya.
Maka memuji dan mengabdi adalah permulaan cinta dengan menyebut asma-Nya pagi dan petang dalam dekapan asmaul-Husna.
Maka kita serahkan kepada-Nya tentang nilai-nilai cinta dan kerinduan, memuji bertaut dalam kelam.
Rasul saw berucap dalam doanya ;
Demikian ungkapan estetis tentang cinta terhadap Khaliq habibul makhluq.
Kemudian Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata ;
Demikian indah patrian piagam cinta, antara sumber maha cinta dengan yang dicintai, timbullah kausalatif akibat hasil cinta.
amal dunia berimbas
panen di akhirat, siapa menanam
angin pasti menuai badai
Itulah implikasi cinta, hubungan yang mesra antara tatanan dimensi dan nuansa hakikat kehidupan.
Malah kecintaan kita sesuatu yang kita cintai, menyebabkan kita mencari sesuatu yang disukai oleh orang yang kita cintai itu kita akan berusaha maksimalis memberikan sesuatu kepadanya.
Seandainya yang kita cintai itu menolak untuk menerimanya, maka kita akan merasa jengkel tetapi akan mencarikan yang sebenarnya sesuatu yang disukai orang yang kita cintai dengan seluruh jiwa dan raga kita, kemudian pantang sekali kita melanggar kemauan yang kita cintai.
Tidak mungkin kita mencintai sesuatu yang kita langgar kesukaannya.
Allah peringatkan ;
oleh sebab itu
semakin banyak pelanggaran
dan kelalaian kita kepada sesuatu
yang disukai Allah, menandakan cinta
kita kepada-Nya berkurang. Kalau sudah
demikian, Allahpun demikian
masya Allah
b. Cinta Menurut Ibnul Araby
Ibnul Araby seorang filosof dan Imam Sufi oleh sebab itu beliau terkenal dengan julukan “Filosof Sufi”.
Beliau mengungkapkan tentang cinta ;
segala sesuatu yang ada di alam ini
semuanya cinta – mencintai
negatif dan positip
juga cinta-mencintai
keduanya merupakan dasar
hidup ini
hatta
molekul-molekul
yang sangat kecil di alam ini
semuanya cinta-mencintai
kalau tidak
karena
cinta
semuanya
akan lenyap dan hancur
subhanallah
Tetapi gambaran cinta itu selalu merupakan fenomena, memakai banyak simbol dan warna.
Warna-warna itulah yang merupakan hijab menutupi nilai yang sebenarnya yang ada dalam dirinya.
Juga terkadang pola cinta memakai kerangka lain untuk suatu niat tendensi tertentu.
menurut hakikatnya cinta
manusia kepada Tuhannya tetap
ada di dalam jiwanya.
hanya kadang-kadang
terdinding oleh hijab berupa
harta, wanita dan tahta dan lain sebagainya
yang merupakan simbol dari hijab kehidupan.
Fakta ini bertimbun-timbun di dalam kalbu seseorang, laksana air di dalam perigi, jumlah air yang ada menahan keluarnya air yang jernih dari dalam tanah.
Demikian juga cinta yang murni menahan tumbuh dari dalam kalbu manusia.
Muhyiddin Ibnul Araby, memperbincangkan hal cinta dengan segala interpretasinya ;
Dengan demikian, Tuhan menjadikan kita untuk diri-Nya dan IA memperkenalkan diri-Nya kepada kita, supaya kita mengenal-Nya sekaligus mencintai-Nya
Dengan ungkapan pepatah ;
Demikian cinta Allah kepada kita yang seharusnya kita balas dengan yang lebih baik lagi.
Kalau kita tidak membalas, maka kita adalah hamba yang sama sekali tidak tahu membalas budi.
Karena bagaimanapun juga kita harus membalas budi, kita harus mencintai Allah dari segala perhatian-Nya.
Ia habiskan waktunya untuk kita, maka seharusnya kitapun demikian pula. Demikian jika kita manusia yang berbudi.
Uraian cinta dan aplikasinya bagi orang Sufi memberikan rumusan dalam menyelesaikan persoalan pelik yang selama ini tidak terbuka bagi orang-orang filosofi.
Orang-orang Filosofi terus bertanya kepada sesamanya dan kepada orang lain tentang ’kehidupan’ mulai arti, tujuan kita dijadikan dan tugas kita berikutnya.
Orang-orang filosofi berargumentasi dengan dalil rasio dan pelbagai jawaban ilmiah lainnya.
Tapi orang-orang Sufi memberikan jawaban dengan mudah dan tegas dengan interpretasi kesufiannya ;
Allah telah menjadikan kita
tanpa permintaan kita dan tanpa ada
suatu keuntungan bagi-Nya, hanya karena
IA suka dikenal maka dijadikan-Nya kita
Tuhan menjadikan kita
supaya kita mencintai-Nya
memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya
dan lain sebagainya dengan sujud yang
banyak dan daim di hadapan-Nya dengan
untaian sejuta doa di setiap waktu.
Jika perintah Tuhan kepada kita dapat kita laksanakan sesuai dengan kehendak-Nya, maka
berbahagialah kita.
Cinta Allah kepada kita menjadi nikmat bahagia yang kekal yang tidak akan lenyap dan usang sepanjang masa.
Kemudian setiap bertambah keimanan seseorang, maka bertambah pula cintanya kepada Allah, tatkala bertambah cintanya kepada Allah, bertambah eratlah dan banyak buhulan dengan-Nya.
Dengan demikian ia telah mendapat pedoman hidup dan hakikat kehidupan, itulah arti nikmat yang kekal, merupakan pedoman dalam mengitari dilema kehidupan.
Apabila maqam cinta kita kepada Allah sampai pada titik ‘maqamulhubb’ akan membawa ruh kepada sesuatu ‘lathifah’ yang ridha dan tenang.
Cinta kepda Allah akan menghantarkan setiap orang yang telah memiliki cinta tersebut dengan penuh ketenangan ”luthfullah” suatu maqam yang cukup mengasyikkan.
Jika cintanya kepada Allah belum sampai kepada taraf ini, maka cintanya tentu belum definitif, masih dalam perkembangan maka ia melihat kepada segala yang ada di alam ini, berkhidmat dan tidak sia-sia.
Hatinya bersama hati orang yang dicintainya, kecintaan orang yang dicintainya itu adalah lambang kecintaannya sendiri.
Amir bin Qais, berucap ;
Umar bin Abdul Aziz berucap tentang cinta ;
tatkala anaknya Saleh meninggal
beliau berucap ; Allah mencintai mengambil
anak saya, saya mencintai sesuatu hal
yang bertentangan dengan
kehendak-Nya.
Menurut pandangan Sufi bahwa kecintaan mereka kepada taraf “maqamulhubb” dengan jiwa yang mengasyikkan yang merasakan kelezatan ‘rabbani’ yang asyiqin tenggelam dalam “wajdan filhubb” yakni mendapatkan sesuatu yang dicari di dalam cinta.
Ini adalah suatu rahasia yang suci antara Khaliq dan makhluk suatu “tajalli” kasih antara orang-orang yang bercinta.
Menurut mereka, cinta kepada Tuhan membawa orang-orang mukmin kepada taraf hayat yang menjadi sumber keberhasilan bagi dirinya dalam suatu alam yang penuh ridha dan kebahagiaan.
Cinta itu bukanlah sekedar tenang dan rela saja, tapi cahaya nurani yang berlabuh di atas ufuk jiwa manusia menerangi segala telaga keindahan yang dapat memberi ilham secara khusyuk dan taqarrub kepada-Nya yang melahirkan gerak dan renungan tentang malakut Allah yang menerbitkan penyelidikan terhadap rahasia yang penuh asrar.
Dan melahirkan keimanan mendatangkan pelbagai pengetahuan dalam sentuhan perasaan yang berisi tunduk di hadapan Tuhan yang membukakan segala sesuatu rahasia kepada-Nya.
Ahli-ahli Sufi mencintai Allah
bukan karena takut neraka-Nya dan
bukan pula mengharap syurga-Nya tapi
karena mereka mencintai-Nya.
cinta dalam nilai ini
atau yang lebih dari ini
tidak dikenal orang selain
dalam kalangan ahli-ahli sufi
yang ’rabbany’ hidup dan matinya
berhubungan langsung dengan Allah
sekaligus mendidik manusia lainnya hidup
dalam mencintai Allah semata.
Apabila manusia-manusia kebanyakan/awam mengharapkan syurga sebagai tujuan tertinggi/akhir dari segala amal mereka maka bagi ahli sufi, syurga besar yang paling tinggi yang mereka harapkan adalah keridhaan Allah dan bertemu dengan-Nya.
Neraka besar yang amat ditakuti kaum sufi bukan neraka yang apinya menyala-nyala dan bahan bakarnya terdiri dari jin dan manusia, tapi jauh dari Allah, jauh dari mencintai dan dicintai Allah, jauh dari mihrab munajat dengan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.
Abu Yazid al-Bistami berujar ;
orang banyak takut mati
tetapi saya menginginkannya
nanti apabila hari kiamat dan datang
hisab, Tuhan memanggilku, maka kujawab;
labbaik ya Rabb-ku dan akupun taat
terhadap kehendak-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asmawi,H.M.E “alhubb”
Damascus Syrian Arab Republic 1987
Jaridah Tesyrin
2. Abbas, Zainal Arifin, Hj “ilmu Tasauf”
Kuala Lumpur Malaysia 1984
3. Hujwiri, Dr, “Kasyf el-Mahjub”
Libanon 1937
4. Akhlaqu Ahlil Qur’an –Al-Ajuri-Tahqiq Muhammad Amru Abdul Latif-Darul Kutub Al-Ilmiyah – Cetakan 1 -1406 H
5. Min A’lamit Tarbiyah al-Islamiyah –Maktab at-Tarbiyah al-Araby- 1409 H
6. Jami’ Bayanil Ilmi wa fadhlih –Ibnu Abdil Bar- Darul Kutub al-Ilmiyah
7. Ar-Ramahurmuzi-Tahqiq M.Ajjaj Khatib Cetakan 3 – 1404 H
Effendy Asmawi Alhajj
Dilahirkan di Jantur Kutai Kartanegara, 24 November 1964 dari SLTA melanjutkan study ke Damascus Syrian Arab Republic kemudian Malaysia dan pernah melanglang buana ke Eropa, Timur Tengah, Australia dan Asia.
Anak ke-4 dari 9 bersaudara pasangan Bapak Asmawi dan Ibu Khamsiyah ini, mempunyai hobby membaca kemudian memproduksikan kembali dalam tulisan. ---------------------------
CINTA (dalam perspektif Tasauf) ini memberikan kedalaman makna entitas cinta yang selalu dinamis dan cinta bukanlah sesuatu yang harus dipelajari dari manusia melainkan sebagai karunia Tuhan dan berasal dari kasih dan sayang-Nya.----------------------------------
bukanlah sesuatu
yang harus dipelajari
dari manusia, melainkan
sebagai karunia Tuhan dan
berasal dari kasih & sayang-Nya
dan jika seseorang memiliki cinta
maka dia tidak lagi tunduk di
bawah kekuatan yang lebih
besar dari dirinya
sendiri
sebab
dia
sendiri
sudah menjadi
kekuatan yang besar
Tafakkur Penulis
Al-hamdulillah, tulisan CINTA (dalam perspektif TasauF) ini dapat diselesaikan, walaupun ini merupakan ” editing ” dari tulisan terdahulu yakni CINTA (menurut pandangan TasauF) yang diterbitkan oleh AMII Kota Batam pada tahun 1995 / 1416 H, maka kami perlu mengangkat kembali, karena itulah cinta sesuatu yang dapat memberikan nuansa tersendiri sekaligus memberikan motivasi dalam setiap derap langkah kegiatan.
Cinta (dalam perspektif TasauF) ini memberikan gambaran bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dipelajari dari manusia melainkan sebagai karunia Tuhan dan berasal dari kasih dan sayang-Nya.
Dan jika kita memiliki cinta, berarti kita sudah mendapatkan suatu kekuatan dalam diri kita sendiri. Cinta sesuatu yang indah dan mengasyikkan, demikian ungkapan di kalangan Sofi, lebih-lebih cinta kepada Allah – Khaliqul Alam.
Demikian, terima kasih dan semoga bermanfaat, amin.
Batam, Oktober 2007
Syawal 1428
Penulis,
Effendy Asmawi Alhajj
TAFAKKUR
CINTA
siapa yang mencintai Allah
maka Allah akan
mencintainya
dan selalu
ingat
Allah adalah
sahabat saya dan
ilmu adalah senjata saya
cinta saya ada dalam
shalat saya
CINTA
menafsirkan segala kesulitan
dalam dimensi dunia
yang wujud ini
dan
menunjuki kita
kepada tujuan hakiki
kehidupan ini
tidaklah mungkin mentari mendapatkan
rembulan dan malampun tidak
dapat mendahului siang
dan masing-masing
(sabar) beredar pada garis
edarnya (demi cintanya
kepada Sang
Pencipta )
QS. 36 : 40
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke
dalam cinta
dari
kepala hingga kaki
hanyalah sentuhan sesaat
yang waktu berikan, membuatku
berhutang syukur
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke
dalam cinta
dari
kepala hingga kaki
hanyalah sentuhan sesaat
yang waktu berikan, membuatku
berhutang syukur
fenomena
cinta memberikan lambang
dari A sampai Z
yang eksisnya cukup besar
dalam proses hidup
dan kehidupan
***
subhanallah
CINTA
yang mendalam
yakni shalat yang daim
membangkitkan rasa tunduk
kepala kepada-Nya
merupakan kunci
makrifat
terhadap pengenalan
eksistensi-Nya
bagian 1
CINTA
SEBUAH PERWUJUDAN REFLEKSI IMANY
CINTA
siapa yang mencintai Allah
maka Allah akan
mencintainya
dan selalu
ingat
Allah adalah
sahabat saya dan
ilmu adalah senjata saya
cinta saya ada dalam
shalat saya
CINTA
menafsirkan segala kesulitan
dalam dimensi dunia
yang wujud ini
dan
menunjuki kita
kepada tujuan hakiki
kehidupan ini
tidaklah mungkin mentari mendapatkan
rembulan dan malampun tidak
dapat mendahului siang
dan masing-masing
(sabar) beredar pada garis
edarnya (demi cintanya
kepada Sang
Pencipta )
QS. 36 : 40
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke
dalam cinta
dari
kepala hingga kaki
hanyalah sentuhan sesaat
yang waktu berikan, membuatku
berhutang syukur
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke
dalam cinta
dari
kepala hingga kaki
hanyalah sentuhan sesaat
yang waktu berikan, membuatku
berhutang syukur
fenomena
cinta memberikan lambang
dari A sampai Z
yang eksisnya cukup besar
dalam proses hidup
dan kehidupan
***
subhanallah
CINTA
yang mendalam
yakni shalat yang daim
membangkitkan rasa tunduk
kepala kepada-Nya
merupakan kunci
makrifat
terhadap pengenalan
eksistensi-Nya
bagian 1
CINTA
SEBUAH PERWUJUDAN REFLEKSI IMANY
Kata-kata CINTA adalah sosok kalimat yang sering memberi banyak nuansa arti. Pada kondisi tertentu dapat memberikan makna yang perasa. Karena muatannya cukup menyentuh nilai dan rasa manusia.
Oleh sebab itu thema CINTA sesuatu yang cukup menarik untuk dibicarakan oleh banyak kalangan termasuk kalangan SUFI.
Fenomena CINTA memberikan lambang dari A sampai Z yang eksisnya cukup besar dalam proses hidup dan kehidupan, oleh sebab itu perlu ditata.
Penataan tentu dilakukan sebagai prediksi pada satu konsekuensi agar berjalan sesuai dengan garis ketentuan.
Dalam konsepsi TasauF, penataan manajemen cinta (kalau boleh disebut demikian) memiliki hirarki yang menduduki strata tertentu, yaitu CINTA kepada Allah dan Rasul serta diikuti dengan ijtihad yang merupakan peringkat posisi pertama.
Dengan demikian rumusan CINTA seperti ini akan melahirkan sosok seorang Muslim yang kaffah.
Dan akan memetik hakikat CINTA yakni rindu yang mendalam terhadap Sang Pencipta Allah swt.
Sehingga harta, tahta dan wanita serta kondisi yang lainnya tidak akan dapat mengusik rindu, CINTA yang abadi.
Demikian konteks perwujudan CINTA, ada dua kriteria tentang CINTA ;
Pertama, ” CINTA ATHIFIYAH ”
Cinta Athifiyah yakni cinta yang bersifat emosional, bergelora dan penuh kehangatan yang melahirkan semangat sekaligus kesiapan untuk membela.
Kedua, ” CINTA MINHAJI ”
Yakni suatu cinta yang dilandasi tidak hanya semata-mata perasaan tapi juga tindakan dan amal perbuatan yang terarah sesuai dengan ketentuan dan normatif yang berlaku.
Pada klimaksnya CINTA merupakan perwujudan refleksi imany, sebagai seorang sufi cinta ini terlihat dengan sikap mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Cinta seperti ini merupakan hal perwujudan imany dalam konteks yang positif dan konstruktif. Untuk itu Rasul saw memberikan tiga dimensi kriteria dalam bercinta ;
a. Lebih mencintainya ketimbang mencintai diri sendiri.
...”tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya dari pada bapaknya, anaknya atau seluruh manusia”...
( HR. Bukhari ).
b. Menumbuhkan ketaatan dan ketundukan.
Cinta athify terhadap Rasul saw wajib disertai dengan ketaatan dan ketundukan bukan perasaan emosional semata.
Sebab dalam konteks ini ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya itulah yang akan memiliki nilai di hadapan Allah nanti.
Bahkan dalam dimensi ini jika ada orang yang mengaku beriman tapi ternyata hawa nafsunya belum bisa dikalahkannya.
...”tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”... (HR.Bukhari-Muslim).
c. Sanggup berkorban demi cinta
Rangkaian kisah generasi pertama banyak menggambarkan keteladanan manusiawi yang mengagumkan tentang gelora cintanya pada Allah, Rasul dan pengorbanan untuk sesuatu yang bernama CINTA.
Kisah Zaid bin Datsnah yang diriwayatkan oleh Baihaqy dari Urwah ra adalah satu literatur yang menarik untuk diketengahkan merupakan salah seorang Sahabat Rasul saw yang hendak diekskusi di Tan’im dan sebelum ekskusi itu dilaksanakan Abu Sofyan (ketika itu masih musyrik) berkata kepada Zaid ;
... ya Zaid, aku bersumpah kepadamu jika kau mau, Muhammad berada di sini untuk menggantikanmu, kau penggal kepalanya dan kau akan kukembalikan pada keluargamu.
Tapi apa jawab Zaid, sungguh aku tak rela Muhammad sekarang yang berada di tempatnya terkena duri sedikitpun, sedangkan aku bersantai bersama keluargaku.
Sebuah jawaban yang konsekuensinya membuat Abu Sofyan tercengang.
siapa yang mencintai Allah
maka Allah akan
mencintainya
dan
selalu ingat Allah
sahabat saya
penderitaan
teman saya
cinta saya ada
dalam shalat saya
maka Allah akan
mencintainya
dan
selalu ingat Allah
sahabat saya
penderitaan
teman saya
cinta saya ada
dalam shalat saya
Perasaan cinta yang mendalam seperti inilah, sebagai refleksi imany.
Untuk mewujudkan nilai cinta, kaum sufi membedakan tiga jenis organ untuk komunikasi rohaniah, yaitu Qalbu (hati) untuk mengetahui Tuhan, Ruh (jiwa) untuk mencintai-Nya dan Sirr (bagian jiwa yang mendasar) untuk merenungi-Nya.
Memang akan seperti menyelami laut dalam apabila kita ingin membahas masing-masing istilah tersebut. Namun demikian uraian singkat dari kata pertama dari ketiga kata tersebut cukup memberikan penjelasan.
Qalbu, walau dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung atau hati jasmani, tapi memiliki kemampuan untuk mengetahui esensi segala sesuatu dan apabila disinari imany dan pengetahuan maka akan tergambarkan keseluruhan kandungan pikiran ke-Ilahi-an.
Melalui suatu gerbang, hati segera akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan, sedang lewat gerbang yang lain akan digoda oleh ilusi dari perasaannya.
...’di sini dunia dan di sana juga dunia’ ucap Jalaluddin Rumi, dan aku duduk di ambang keduanya’...
Sehingga manusia memiliki potensi untuk terjatuh lebih rendah dari binatang yang
paling hina atau lebih luhur dari malaikat yang selalu patuh kepada-Nya.
Malaikat dan binatanglah
pembentuk manusia
ia dapat
mendaki
dapat pula
menurun
t a p i
apabila ia menyerap
malaikat, ia mampu melebihinya
pembentuk manusia
ia dapat
mendaki
dapat pula
menurun
t a p i
apabila ia menyerap
malaikat, ia mampu melebihinya
Lebih rendah dari binatang terendah karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memungkinkannya untuk bangkit.
Tetapi lebih pula dari malaikat karena ia bukan subjek dari nafsu, sehingga dirinya tidak dapat terjatuh.
Lantas, bagaimana manusia dapat mengetahui tentang Tuhan ? Bukan melalui perasaannya karena IA bukan wujud yang material. Jika bukan dengan intelek karena IA tidak sepenuhnya terjangkau oleh pikiran.
Maka dengan ‘mahabbah’ (cinta) yang mendalam yakni dengan shalat yang da-imun membangkitkan rasa, tunduk kepala kepada-Nya merupakan kunci makrifah terhadap pengenalan eksistensi-Nya.
...”lihatlah batinmu sendiri”.... ujar para Sufi, pengenalan Tuhan sebenarnya ada di dalam hatimu,
Mereka yang benar-benar mengetahui dirinya sendiri maka ia akan mengetahui hal-ihwal Tuhan. Karena hati merupakan cermin yang memantulkan setiap kualitas ke-Ilahi-an.
Tetapi sebagaimana halnya dengan besi, apabila cermin dilapisi dengan karat maka akan menghilangkan kemampuannya untuk memantulkan sehingga perasan rohani yang oleh karena sufi disebut sebagai hati akan buta terhadap keindahan syurgawi hingga kegelapan yang menyelimuti fenimena diri, dengan segala kotoranperasaanya sepenuhnya dapat dibersihkan maka kejernihan apabila akan dicapai secara efektif harus melalui kerja Tuhan, walau memerlukan kerjasama dengan bagian dalam manusia.
...”mereka yang bersungguh-sungguh
untuk mencari keridhaan Kami
tentu akan Kami
bimbing
melalui jalan-jalan Kami”...
(QS. Al-Ankabut : 69).
untuk mencari keridhaan Kami
tentu akan Kami
bimbing
melalui jalan-jalan Kami”...
(QS. Al-Ankabut : 69).
Mereka yang mencari Tuhan demikan ungkap NIFFARI, ada 3 (tiga) kelompok ;
Pertama, mereka yang rajin beribadah kepada Tuhan, selain DIA melihatnya dengan lautan rahmat-Nya. Seperti mereka yang mengabdinya dengan harapan mendapat syurga-Nya dengan harapan mendapat syurga-Nya atau berbagai impian ganjaran/ kelebihan.
Kedua, para Filosofi atau ahli ilmu kalam skolaristik yang kepada mereka Tuhan menjadikan dirinya dapat dikenali melalui keagungan-Nya.
Mereka tidak pernah menemukan keagungan Tuhan yang mereka coba cari, mereka meyakini bahwa esensi-Nya tidak akan pernah dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia.
Dalam ucapan mereka kita tahu bahwa kita tidak tahu tentang-Nya dan inilah pengetahuan kita.
Ketiga,’ kaum mahabbah ’ yang mengetahui tentang Tuhan melalui estase mereka ini dimiliki dan dikendalikan oleh ketenangan yang mampu mengekang kesadarannya tentang eksistensi pribadi.
c i n t a
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke dalam
cinta dari kepala
hingga kaki
hanyalah
sentuhan sesaat
yang waktu berikan
membuatku berhutang
s y u k u r
telah menggetarkan dawai
dalam kecapi jiwa dan
mengubahku ke dalam
cinta dari kepala
hingga kaki
hanyalah
sentuhan sesaat
yang waktu berikan
membuatku berhutang
s y u k u r
Inilah aksioma cinta di kalangan SUFI yang merupakan mikrokosmos (tiruan dari cinta Tuhan), untuk menuju ke maqam idaman, hakikat kehidupan.
tertawa sebagai tanda bahagia
dan menangis sebagai
lambang kesedihan
atas kehilangan yang kita
cintai keduanya menurut pandangan
SUFI adalah tanda mementingkan
diri sendiri oleh sebab itu
mereka tidak akan
tertawa dan
juga tidak
menangis sabar
dan ikhlas demi wujud
cinta kepada- Nya
dan menangis sebagai
lambang kesedihan
atas kehilangan yang kita
cintai keduanya menurut pandangan
SUFI adalah tanda mementingkan
diri sendiri oleh sebab itu
mereka tidak akan
tertawa dan
juga tidak
menangis sabar
dan ikhlas demi wujud
cinta kepada- Nya
Jalaluddin Rumi, dalam kumpulan lirik ’the Divan of Shamsi Tabriz’ berujar ;
aku telah membuang jauh kegandaan
aku telah melihat bahwa dunia
hanyalah satu, sekali aku
mencari, sekali aku
menyeru, aku
sudah kepayang
dengan cawan cinta
dua dunia telah meninggalkan
cakrawalaku dan akupun tak berurusan
baik dengan anggur
ataupun keselamatan
*****
Omar Khayyar berucap ;
n e r a k a
hanyalah pantulan
derita nan tiada guna
syurga
adalah desah napas
dari masa kebahagiaan
*****
Fitz Gerald dalam coupletnya ;
syurga
hanyalah pandangan yang puas keinginan
neraka
hanyalah bayangan dari jiwa yang terpanggang api, terperangkap dalam gelap, itulah kita
dan siapa lambat tiba, akan segera
kadaluarsa
*****
Bagian 2
Aplikasi Umum Cinta Ilahi
-----------------------------
tidaklah mungkin mentari mendapatkan
rembulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang dan masing-
masing (sabar) beredar
pada garis edar-
nya (demi
cinta-
nya
kepada
Sang Pencipta)
QS. 36 : 40
Aplikasi Umum Cinta Ilahi
-----------------------------
tidaklah mungkin mentari mendapatkan
rembulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang dan masing-
masing (sabar) beredar
pada garis edar-
nya (demi
cinta-
nya
kepada
Sang Pencipta)
QS. 36 : 40
Hidup adalah rangkaian peristiwa dan setiap peristiwa ada terdapat di dalamnya rasa cinta. Cinta memang sebuah fenomena kasih seseorang, maka dengan demikian cinta merupakan nikmat Tuhan yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.
Perasaan kasih, senang, gembira, canda-ria dan sayang adalah perwujudan dari CINTA.
Cinta memang unik dan sangat sulit diterjemahkan dengan kata-kata tapi cinta adalah sentuhan terjemahan perasaan yang mendalam pada konteks kasih dan perwujudan sayang.
Uniknya perasaan cinta, bisa melompati nilai dan pagar tatanan. Oleh sebab itu mentari rela bersinar sepanjang hari dan rembulan bersedia memancarkan sinar sepanjang malam demi rasa cinta pada tatanan dan aturan Sang Pencipta.
Cinta bisa dikonotasikan menurut segi dan pandangan oleh sebab itu CINTA bersifat universal yang makro, sesuai dengan kebutuhan dan dimensi yang memandangnya. Cinta memang unik, syahdu dan amat sensitif.
Prospek cinta selalu dinamis, estetis mempunyai suatu responsibility terhadap milleu. Kepekaan nilai tersebut berkembang sesuai dengan era dan tuntutan perkembangan serta sesuai dengan bergesernya nilai tatalaksana dan tatapergaulan.
be your self in love
(kenalilah pribadimu dalam bercinta)
(kenalilah pribadimu dalam bercinta)
*****
Ada ungkapan bahwa cinta itu buta, cinta itu syahdu, cinta itu asyik, cinta itu aduhai yang serba glamour dan sebagainya. Tapi ada juga yang mengatakan cinta itu kejam, cinta itu menyebalkan, cinta itu gelap dan menyeramkan.
Berbagai persepsi pernyataan cinta tersebut melambangkan persuasi pengalaman dan peristiwa atau rangkaian peristiwa dalam liku dan nuansa kehidupan.
Carilah kesucian cinta dan cinta itu laksana pohon bukan buah, maka siramlah supaya berbuah. Cinta utuh hanya datang dari Tuhan dan dari seorang Ibu yang keibuan.
Apa yang kita pikirkan lebih kecil
daripada yang kita ketahui.
Apa yang kita ketahui
lebih kecil
daripada
apa yang kita cintai.
Dan apa yang kita cintai jauh
lebih kecil daripada yang ada.
daripada yang kita ketahui.
Apa yang kita ketahui
lebih kecil
daripada
apa yang kita cintai.
Dan apa yang kita cintai jauh
lebih kecil daripada yang ada.
Hidup dalam cinta adalah tantangan hidup yang paling besar. Manusia tidak mempunyai selain pilihan untuk mencintai. Sebab kalau tidak dia mendapatkan alternatifnya terletak pada kesepian, kehancuran dan keputus-asaan.
Cinta memang sejuta rasa, sejuta reka, sejuta masalah dan sejuta langkah. Dan jika seseorang memiliki cinta maka dia tidak lagi tunduk di bawah kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri, sebab dia sendiri sudah mnjadi kekuatan yang besar.
Demikian kaum sufi menggunakan gaya figuratif sebagai simbol dalam perwujudan cinta kepada Sang Pencipta.
Cinta, qua cinta adalah satu dan realita yang sama dengan (yang dicintai oleh orang) dan aku.
Namun objek cinta kita ternyata berbeda, aku mencintai Yang Nyata.
Adalah pola bagi kita karena hanya Tuhanlah yang dengan cinta-Nya dapat menunjukkan dengan cara-Nya sendiri. Karena manusia telah dijajah oleh akalnya sehingga membuatnya tidak menyadari tentang dirinya sendiri.
cinta
yang disimbolisasi
adalah unsur emosi dari bagian agama
*****
cinta,
ujar Jalaluddin
adalah penyembuh dari
kebanggaan dan kesombongan
serta pengobat bagi
seluruh kekurangan
diri
*****
yang disimbolisasi
adalah unsur emosi dari bagian agama
*****
cinta,
ujar Jalaluddin
adalah penyembuh dari
kebanggaan dan kesombongan
serta pengobat bagi
seluruh kekurangan
diri
*****
Bentuk Sufi dalam mencintai Tuhan, mereka acap kali melihat (tanda-tanda kebesaran) Tuhan di dalam seluruh makhluk-Nya dan pergi kepada mereka dalam amal saleh. Amal seorang yang saleh akan tidak bermakna bila tidak diiringi CINTA.
CINTA
Ilahi – Rabbi
apakah menjadi dunia ini
atau itu namun pada
akhirnya cintamu
akan membawa
ke sana
(Jalaluddin Rumi)
Ilahi – Rabbi
apakah menjadi dunia ini
atau itu namun pada
akhirnya cintamu
akan membawa
ke sana
(Jalaluddin Rumi)
Ibnul Araby menyatakan bahwa Islam sepenuhnya adalah agama CINTA, sebagaimana juga Rasul saw adalah yang dicintai Allah (al-Habib).
Cinta sebagai substitusi kualitas yang untuk berkualitas dari yang mencintai. Dengan kata lain, cinta menghendaki melenyapnya diri pribadi.
Inilah karanuman yang tidak dapat dikendalikan, suatu karunia Tuhan yang harus digali melalui ibadah dan renungan yang sungguh-sungguh. (Junaid).
CINTA
manusia sesungguhnya
hanyalah efek
dari cinta
Tuhan
dengan satu apologia
(Jalaluddin Rumi)
manusia sesungguhnya
hanyalah efek
dari cinta
Tuhan
dengan satu apologia
(Jalaluddin Rumi)
Cinta Ilahi memang di luar batas rincian hanya tanda-tandanyalah yang dapat dirasakan.
Cinta masih merupakan misteri syurga telah menginspirasi hampir seluruh agama dengan nama dan bahkan memberikannya bukan dalam penjelasan yang masuk akal, melainkan melalui kedalaman dari intuisi.
Sinar rohani ini memiliki bukti tersendiri, barangsiapa mampu melihatnya berarti memiliki pengetahuan sejati dan tiada sesuatu yang dapat menambahi atau mengurangi kepastiannya.
Oleh sebab itu kaum Sufi tidak pernah menonjolkan bagian iman yang dianggapnya tidak berguna karena sifatnya yang mengagungkan bukti-bukti intelektual, wewenang eksternal atau mementingkan pribadi dan lain sebagainya.
Rabiatul Adawiyah bermunajat dalam doanya ;
wahai Tuhan,
apapun bagian dunia
yang Engkau karuniakan
kepadaku, berikanlah semuanya
kepada musuh-musuh-Mu
dan apapun yang
Engkau akan
berikan
padaku kelak
di akhirat, berikanlah
kepada teman-teman-Mu,
bagiku Engkau pribadi sudah cukup
wahai Tuhanku,
apabila daku beribadah
kepada-Mu hanya karena takut
neraka-Mu, maka masukkanlah aku
di dalam neraka-Mu,
apabila aku beribadah kepada-Mu
hanya menginginkan syurga-Mu
maka keluarkanlah aku
dari syurga-Mu
tapi apabila
aku beribadah pada-Mu
hanya demi untuk-Mu semata
berikanlah padaku keindahan yang abadi
*****
apapun bagian dunia
yang Engkau karuniakan
kepadaku, berikanlah semuanya
kepada musuh-musuh-Mu
dan apapun yang
Engkau akan
berikan
padaku kelak
di akhirat, berikanlah
kepada teman-teman-Mu,
bagiku Engkau pribadi sudah cukup
wahai Tuhanku,
apabila daku beribadah
kepada-Mu hanya karena takut
neraka-Mu, maka masukkanlah aku
di dalam neraka-Mu,
apabila aku beribadah kepada-Mu
hanya menginginkan syurga-Mu
maka keluarkanlah aku
dari syurga-Mu
tapi apabila
aku beribadah pada-Mu
hanya demi untuk-Mu semata
berikanlah padaku keindahan yang abadi
*****
takut kepada neraka
dibanding dengan rasa takut
untuk berpisah dengan-Mu seumpama
dengan setetes air dibanding dengan
luasnya lautan. (Dzun-Nun).
*****
dibanding dengan rasa takut
untuk berpisah dengan-Mu seumpama
dengan setetes air dibanding dengan
luasnya lautan. (Dzun-Nun).
*****
merasa bersatu dengan Tuhan
walau sesaat akan lebih baik ketimbang
seluruh ibadah manusia sejak permulaan
hingga akhir dunia (Syibli).
*****
Untuk mengungkapkan perasaan cinta yang mendalam Rasul saw bersabda dalam doanya ;
ya Allah,
saya memohon kepada-Mu
supaya dapat mencintai-Mu dan
mencintai orang-orang yang mencintai-Mu
demikian pula mencintai segala amal
yang membawa saya mencintai-Mu
ya Allah,
jadikanlah mencintai-Mu
lebih saya cintai dari
pada mencintai
diri saya
sendiri
keluarga saya
dan air yang dingin.
*****
saya memohon kepada-Mu
supaya dapat mencintai-Mu dan
mencintai orang-orang yang mencintai-Mu
demikian pula mencintai segala amal
yang membawa saya mencintai-Mu
ya Allah,
jadikanlah mencintai-Mu
lebih saya cintai dari
pada mencintai
diri saya
sendiri
keluarga saya
dan air yang dingin.
*****
Doa Rasul saw ini sebahagian dari doa beliau mencintai Tuhan. Menandakan kepada kita bahwa mencintai Allah bukanlah pekerjaan mudah, apabila sudah mendapatkannya belum tentu pula akan tetap pada kita.
Hati adalah satu-satunya bahagian unsur jasmani yang sangat metafisik. Kekuasaan kita kepada hati tidak ada. Kekuasaan Allah atas hati kita boleh menjadi contoh untuk mengetahui kekuatan Allah yang sebenarnya.
TasauF yang selalu bertujuan mencintai Allah lebih dari segala yang lainnya, mempunyai dimensi GETAR, dimensi ILHAM, TASBIH & METODE.
Dimensi ‘getar’ tasauf yaitu rindu kepada Allah, dimensi ‘ilham’ mencari-cari Allah seperti bertemu dan tidak bertemu, seperti mendapat tetap tidak tahu apa yang di dapat.
Dimensi ‘tasbih’ tenggelam habis dalam keindahan malakut Allah swt.
Sedangkan dimensi ’metode’ fana-sempurna di hadapan Tuhan Yang Mahatinggi.
Apabila kita membaca riwayat orang-orang Sufi, akan kita ketemukan dengan segala bentuk keindahan, segala kasih sayang yang penuh perasaan kesucian.
Hidup dalam kamus orang Sufi adalah lagu dan rindu, mencintai dan dicintai. Karena itu kita akan melihat orang Sufi di mana mereka berada, mereka akan selalu memuji Allah dengan kata-kata yang indah, mulia sebagai orang yang selalu dekat kepada-Nya.
pujian yang menyatakan limpahan cinta
harap dan doa, mereka ingin
selalu berada di-
depan-Nya
mereka
tekun dan ingin
selamanya berada dalam
nuansa halaman-Nya, mereka
ingin hidup di sana, tidak mau pindah
ke alam yang lain, mereka
hidup dan mati di-
tempat
yang mulia, indah
dan mengasyikkan (musytaq)
karena itu orang Sufi hidupnya tidak
mau jauh dari halaman Yang Maha Mulia.
harap dan doa, mereka ingin
selalu berada di-
depan-Nya
mereka
tekun dan ingin
selamanya berada dalam
nuansa halaman-Nya, mereka
ingin hidup di sana, tidak mau pindah
ke alam yang lain, mereka
hidup dan mati di-
tempat
yang mulia, indah
dan mengasyikkan (musytaq)
karena itu orang Sufi hidupnya tidak
mau jauh dari halaman Yang Maha Mulia.
Pikiran, gerak-gerik dan semua aktivitasnya berjiwakan CINTA pada Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila mereka melihat, maka dengan mata yang mencari Tuhan serta mencintai-Nya.
Pandai sekali mereka mencari kata-kata yang dapat menggambarkan cinta mereka kepada-Nya. Mereka menggubah kata-kata indah yang penuh pesona, melebihi cinta seorang pemuda yang jatuh cinta kepada pemudinya adalah suatu jiwa cinta yang bebas dari segala pengaruh dimensi dan nuansa apapun.
bagi orang Sufi,
Allah adalah segala
kecintaannya, ia baca ayat-
ayat-Nya (al-Qur’an) dengan
penuh cinta dan takdzim
*****
Allah adalah segala
kecintaannya, ia baca ayat-
ayat-Nya (al-Qur’an) dengan
penuh cinta dan takdzim
*****
Sambil membaca ayat-ayat al-Qur’an ia muliakan Allah, kemudian ia melihat segala yang ada pada alam ini baik. Walaupun penghidupannya susah tetap ia pandang baik, karena pencipta dan penetapannya adalah Yang Maha Baik.
Semua jiwa dan hati manusia pada dasarnya baik karena yang memberikan hati & mengilhami jiwa adalah Yang Maha Baik.
Seluruh alam ini ciptaan Khaliq dan semuanya itu baik. Sebab alam ini merupakan ayat-ayat yang menyatakan sifat dan perintah-Nya yang baik kepada kita.
Baik dan buruk itu adalah hubungan kejadian-kejadian, kemudian terlepas dari kejadian tersebut, hasilnya akan menjadi baik karena memang datangnya dari Khaliq Yang Maha Baik.
Hati dan isi hati serta pengilhaman hati manusia semuanya baik, kalau ada yang merasa kurang baik karena ia melihat dan merasakan hanya pada waktu itu saja, tidak melihat secara komprehensif hikmah yang terjadi pada masa yang akan datang.
Amsal, susah itu baik walaupun berat merasakan, tapi kesan dan pendidikan dari susah itu membawa hikmah menuju perbaikan.
Berdasarkan pandangan hidup dalam cinta kepada Allah, maka orang-orang Sufi itu berada lebih tinggi dari nilai hidup orang-orang kebanyakan. Mereka ingin dekat kepada Tuhan dan selalu ingin dekat kepada-Nya.
Kemudian kasih sayang dan cinta kepada Tuhan bukan di mulut saja dan bukan dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil saja, tetapi harus mengalir ke dalam setiap tetesan darah yang mengalir di dalam dirinya, menyusuri perasaan pancaindranya terus menembus perasaan sensitifnya yang mengorbitkan sifat-sifat yang lemah-lembut, ramah tapi mengerti dan tahu harga diri yang selalu berkomunikasi dengan Khaliq Yang Serba Maha.
Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Agung dan Maha Penuntut serta Maha Penyiksa atas sifat dan orbitan aktivitas makhluk-Nya.
Kemudian hayat orang Sufi itu naik lagi mengikuti dinamika cintanya kepada Allah swt.
Ada yang sampai ruhnya di sekeliling arasy, ia mustaq di hadirat Rahman yang telah
menjadikan segala sesuatu berdasarkan sifatnya Yang Maha Rahman.
Karena sifat Rahman-Nya itu ia mencintai makhluknya yang mencintai-Nya. Tuhan mencintai mereka, hanya mereka yang tidak tahu arti cinta kepada-Nya.
Kalau mereka tahu arti cinta yang sebenarnya kepada Allah, sebentarpun mereka tidak mau lalai dari mencintai Allah. Sudah pasti mereka akan lebih mencintai Allah ketimbang mencintai seluruh isi dari kehidupan ini.
Mereka mabuk dalam cinta kepada Allah maka segala yang dilakukan yang ditetapkan Allah mereka cintai.
Cinta mereka tidak dinilai menurut baik atau buruk akibatnya kepada makhluk-makhluk yang terkait, apatah lagi diri mereka dan keluarganya tapi mereka mengambil hikmah Allah dalam segala af’al-Nya. Karena itulah jiwa mereka terus naik mendekati titik klimaks Allah. Hanya raga mereka yang berada di alam dunia, bersama orang-orang ramai sedangkan jiwa dan roh pikiran mereka terus mendekati
Tuhan, hidup di sekeliling ’malaikatulmuqarrabin’ dengan arwah syuhada dan shalihin.
Untuk menciptakan nuansa kerinduan orang-orang sufi mempunyai wirid dan amalan-amalan ‘yaumiyah’ (harian),
musytaq yang mendalam,
kerinduan yang penuh syahdu
hati selalu bergetar
af’alnya musytaq
yang sahdu
tenggelam dalam
wirid yang daim (kontinyuitas)
hari Jum’at
dengan mengucap lafal ya Allah
ya Allah, ya Allah mulai terbit pajar
hatta tenggelam matahari,khusyuk dalam
genangan musytaq.
hari Sabtu
dengan lafal laa-ilaha-illallah
sepanjang hari
hari Ahad
dengan wirid ya Hayyu ya Qayyum
hari Senin
membaca laa haula walaa quwata
illa billahil aliyil adzim
hari Selasa
membaca shalawat Nabi
mengharap syafaat
dalam dekapan
kekhusyuan
hari Rabu
membaca istihfar
mengharap maghfirah
hapuskan debu dan krikil kehidupan
hari Kamis
membaca Subhanallahil adzim
mengagungkan zat rabbul alamin
untuk menerima laporan kebaikan sekaligus
ganjaran dari Allah Khaliqul Alam.
hari Ahad
dengan wirid ya Hayyu ya Qayyum
hari Senin
membaca laa haula walaa quwata
illa billahil aliyil adzim
hari Selasa
membaca shalawat Nabi
mengharap syafaat
dalam dekapan
kekhusyuan
hari Rabu
membaca istihfar
mengharap maghfirah
hapuskan debu dan krikil kehidupan
hari Kamis
membaca Subhanallahil adzim
mengagungkan zat rabbul alamin
untuk menerima laporan kebaikan sekaligus
ganjaran dari Allah Khaliqul Alam.
bagian 3
Interpretasi Cinta Orang-orang Sufi
--------------------------------------------
kerinduan yang penuh syahdu
hati selalu bergetar
af’alnya musytaq
yang sahdu
tenggelam dalam
wirid yang daim (kontinyuitas)
hari Jum’at
dengan mengucap lafal ya Allah
ya Allah, ya Allah mulai terbit pajar
hatta tenggelam matahari,khusyuk dalam
genangan musytaq.
hari Sabtu
dengan lafal laa-ilaha-illallah
sepanjang hari
hari Ahad
dengan wirid ya Hayyu ya Qayyum
hari Senin
membaca laa haula walaa quwata
illa billahil aliyil adzim
hari Selasa
membaca shalawat Nabi
mengharap syafaat
dalam dekapan
kekhusyuan
hari Rabu
membaca istihfar
mengharap maghfirah
hapuskan debu dan krikil kehidupan
hari Kamis
membaca Subhanallahil adzim
mengagungkan zat rabbul alamin
untuk menerima laporan kebaikan sekaligus
ganjaran dari Allah Khaliqul Alam.
hari Ahad
dengan wirid ya Hayyu ya Qayyum
hari Senin
membaca laa haula walaa quwata
illa billahil aliyil adzim
hari Selasa
membaca shalawat Nabi
mengharap syafaat
dalam dekapan
kekhusyuan
hari Rabu
membaca istihfar
mengharap maghfirah
hapuskan debu dan krikil kehidupan
hari Kamis
membaca Subhanallahil adzim
mengagungkan zat rabbul alamin
untuk menerima laporan kebaikan sekaligus
ganjaran dari Allah Khaliqul Alam.
bagian 3
Interpretasi Cinta Orang-orang Sufi
--------------------------------------------
Cinta memang unik, syahdu dan mengasyikkan, tidak hanya oleh sepasang remaja yang dirundung cinta nestapa tapi juga cinta ternyata mempunyai nilai estetis tersendiri bagi orang-orang sufi.
Mereka sangat arif dalam memilih dan menggapai rindu nuansa keindahan dalam menyimpai patri arti kehidupan.
Cinta merupakan ‘nur-asyiqin’
yang memberikan cahaya
kerinduan
membuka tabir
dalam menjamah nilai
menyusur pantai
menuju
telaga kerinduan
Sang Habibur – Rahman.
yang memberikan cahaya
kerinduan
membuka tabir
dalam menjamah nilai
menyusur pantai
menuju
telaga kerinduan
Sang Habibur – Rahman.
Maka mereka mempunyai pandangan kebebasan dalam menginterpretasikan makna cinta sesuai dengan jalan dan pandangan mereka.
Pendapat itu antara lain ;
a. Cinta Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauzi
Ibnul Qayyim al-Jauzi adalah seorang Ulama yang sufi dan negarawan. Beliau memberikan pandangan tentang cinta sebagai berikut ;
Menurut saya, cinta ialah
menafsirkan segala
kesulitan
dalam
dimensi dunia yang
wujud ini dalam menunjuki
kita kepada tujuan hakiki kehidupan ini
menafsirkan segala
kesulitan
dalam
dimensi dunia yang
wujud ini dalam menunjuki
kita kepada tujuan hakiki kehidupan ini
Allah ciptakan makhluk
manusia dan
jin untuk menyimpai
cinta memuji dan mengabdi
dalam pelukan kerinduan kepada-Nya.
Maka memuji dan mengabdi adalah permulaan cinta dengan menyebut asma-Nya pagi dan petang dalam dekapan asmaul-Husna.
Maka kita serahkan kepada-Nya tentang nilai-nilai cinta dan kerinduan, memuji bertaut dalam kelam.
Rasul saw berucap dalam doanya ;
ya Allah, kami tidak dapat
mengungkapkan puji
yang sebenarnya
kepada-Mu
karena
Engkau sendiri
yang lebih tahu memuji
diri-Mu sendiri
mengungkapkan puji
yang sebenarnya
kepada-Mu
karena
Engkau sendiri
yang lebih tahu memuji
diri-Mu sendiri
Demikian ungkapan estetis tentang cinta terhadap Khaliq habibul makhluq.
Kemudian Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata ;
di sana ada sesuatu pertautan/piagam
yang kekal antara Khaliq
dan makhluk yaitu
piagam cinta
mencintai
buahnya akan mendapat
keridhaan-Nya
dan
kemudian
masuk ke dalam
mahligai syurga idaman
Allah telah melansir janji-janji-Nya dalam al-Qur’an ;
sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin itu
diri dan harta mereka
dengan memberikan
ganjaran syurga
untuk
mereka
(QS. At-Taubah : 111).
yang kekal antara Khaliq
dan makhluk yaitu
piagam cinta
mencintai
buahnya akan mendapat
keridhaan-Nya
dan
kemudian
masuk ke dalam
mahligai syurga idaman
Allah telah melansir janji-janji-Nya dalam al-Qur’an ;
sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin itu
diri dan harta mereka
dengan memberikan
ganjaran syurga
untuk
mereka
(QS. At-Taubah : 111).
Demikian indah patrian piagam cinta, antara sumber maha cinta dengan yang dicintai, timbullah kausalatif akibat hasil cinta.
amal dunia berimbas
panen di akhirat, siapa menanam
angin pasti menuai badai
Itulah implikasi cinta, hubungan yang mesra antara tatanan dimensi dan nuansa hakikat kehidupan.
orang yang mencintai
akan selalu taat kepada yang
dicintainya, semakin bertambah
kecintaan seseorang, maka bertambah
taatlah untuk memenuhi segala
kehendaknya
akan selalu taat kepada yang
dicintainya, semakin bertambah
kecintaan seseorang, maka bertambah
taatlah untuk memenuhi segala
kehendaknya
Malah kecintaan kita sesuatu yang kita cintai, menyebabkan kita mencari sesuatu yang disukai oleh orang yang kita cintai itu kita akan berusaha maksimalis memberikan sesuatu kepadanya.
Seandainya yang kita cintai itu menolak untuk menerimanya, maka kita akan merasa jengkel tetapi akan mencarikan yang sebenarnya sesuatu yang disukai orang yang kita cintai dengan seluruh jiwa dan raga kita, kemudian pantang sekali kita melanggar kemauan yang kita cintai.
Tidak mungkin kita mencintai sesuatu yang kita langgar kesukaannya.
Allah peringatkan ;
dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah
selain Allah mereka mencintainya sebagai-
mana mereka mencintai Allah dan
orang-orang yang beriman
amat sangat cintainya
kepada
Allah
(QS. Al-Baqarah : 165).
ada orang-orang yang menyembah
selain Allah mereka mencintainya sebagai-
mana mereka mencintai Allah dan
orang-orang yang beriman
amat sangat cintainya
kepada
Allah
(QS. Al-Baqarah : 165).
oleh sebab itu
semakin banyak pelanggaran
dan kelalaian kita kepada sesuatu
yang disukai Allah, menandakan cinta
kita kepada-Nya berkurang. Kalau sudah
demikian, Allahpun demikian
masya Allah
b. Cinta Menurut Ibnul Araby
Ibnul Araby seorang filosof dan Imam Sufi oleh sebab itu beliau terkenal dengan julukan “Filosof Sufi”.
Beliau mengungkapkan tentang cinta ;
bahwa seluruh alam ini
telah diciptakan
Allah dengan
satu
tujuan yakni
supaya seluruh alam ini
menyerahkan cintanya kepada
Allah dan orang yang tidak
menghabiskan kecintaannya kepada
Allah serta tidak memupuk cintanya
kepada-Nya tidak akan
mendapat rahasia
hidup yang
sebenarnya.
telah diciptakan
Allah dengan
satu
tujuan yakni
supaya seluruh alam ini
menyerahkan cintanya kepada
Allah dan orang yang tidak
menghabiskan kecintaannya kepada
Allah serta tidak memupuk cintanya
kepada-Nya tidak akan
mendapat rahasia
hidup yang
sebenarnya.
segala sesuatu yang ada di alam ini
semuanya cinta – mencintai
negatif dan positip
juga cinta-mencintai
keduanya merupakan dasar
hidup ini
hatta
molekul-molekul
yang sangat kecil di alam ini
semuanya cinta-mencintai
kalau tidak
karena
cinta
semuanya
akan lenyap dan hancur
subhanallah
seluruh dimensi alam ini
hanya terbagi dua
mencintai
atau
dicintai
hanya terbagi dua
mencintai
atau
dicintai
Tetapi gambaran cinta itu selalu merupakan fenomena, memakai banyak simbol dan warna.
Warna-warna itulah yang merupakan hijab menutupi nilai yang sebenarnya yang ada dalam dirinya.
Juga terkadang pola cinta memakai kerangka lain untuk suatu niat tendensi tertentu.
sebenarnya setiap napas manusia
semua memuji Tuhan-Nya
yang telah menciptakannya dari
tidak ada menjadi ada
kemudian
mengaturnya
semua memuji Tuhan-Nya
yang telah menciptakannya dari
tidak ada menjadi ada
kemudian
mengaturnya
menurut hakikatnya cinta
manusia kepada Tuhannya tetap
ada di dalam jiwanya.
hanya kadang-kadang
terdinding oleh hijab berupa
harta, wanita dan tahta dan lain sebagainya
yang merupakan simbol dari hijab kehidupan.
Fakta ini bertimbun-timbun di dalam kalbu seseorang, laksana air di dalam perigi, jumlah air yang ada menahan keluarnya air yang jernih dari dalam tanah.
Demikian juga cinta yang murni menahan tumbuh dari dalam kalbu manusia.
oleh sebab itu
cinta itu cantik dan indah
sebab ia dianugrahkan oleh Yang
Maha Cantik dan Maha Indah
cinta itu ’ihsan’
tanpa
mengharap balasan
ihsan (kebikan/budi)
seseorang merupakan lambang
terhadap sumber ihsan itu sendiri
cinta itu cantik dan indah
sebab ia dianugrahkan oleh Yang
Maha Cantik dan Maha Indah
cinta itu ’ihsan’
tanpa
mengharap balasan
ihsan (kebikan/budi)
seseorang merupakan lambang
terhadap sumber ihsan itu sendiri
Muhyiddin Ibnul Araby, memperbincangkan hal cinta dengan segala interpretasinya ;
cinta
bukanlah hanya
sebuah lafal – ucapan
dan gambaran – khayalan
karena cinta mempunyai wawasan
dan estetis yang mendalam
subhanallah
Allah mencintai untuk kita dan diri-Nya
cinta-Nya kepada kita untuk diri-Nya
Diungkapkan dalam Hadits Qudsi ;
AKU suka mengenal diri-Ku sendiri
lalu Kujadikan segala makhluk
ini lalu AKU memper-
kenalkan diri-Ku
kepada
mereka lalu
merekapun mengenal AKU
siapa mencintai Allah
maka Allah akan mencintainya
bukanlah hanya
sebuah lafal – ucapan
dan gambaran – khayalan
karena cinta mempunyai wawasan
dan estetis yang mendalam
subhanallah
Allah mencintai untuk kita dan diri-Nya
cinta-Nya kepada kita untuk diri-Nya
Diungkapkan dalam Hadits Qudsi ;
AKU suka mengenal diri-Ku sendiri
lalu Kujadikan segala makhluk
ini lalu AKU memper-
kenalkan diri-Ku
kepada
mereka lalu
merekapun mengenal AKU
siapa mencintai Allah
maka Allah akan mencintainya
Dengan demikian, Tuhan menjadikan kita untuk diri-Nya dan IA memperkenalkan diri-Nya kepada kita, supaya kita mengenal-Nya sekaligus mencintai-Nya
Dengan ungkapan pepatah ;
tidak kenal
maka tidak cinta
kalau sudah kenal berarti
cinta dan kalau sudah cinta
berarti taat dan penuh kerinduan
rindu adalah bumbu dari cinta
yang selalu asyik
dengan
tatanan dan
dilemanya serta
dengan segala pelayanannya
cinta Tuhan
kepada kita di atas
segala cinta, IA menyatakan
bahwa rahmat-Nya mendahului
murka-Nya
bagaimanapun celakanya seseorang itu
ia masih berhak mendapat
rahmat Allah di atas
dunia ini dan
ia akan
mendapat
perhatian juga dari-Nya
maka tidak cinta
kalau sudah kenal berarti
cinta dan kalau sudah cinta
berarti taat dan penuh kerinduan
rindu adalah bumbu dari cinta
yang selalu asyik
dengan
tatanan dan
dilemanya serta
dengan segala pelayanannya
cinta Tuhan
kepada kita di atas
segala cinta, IA menyatakan
bahwa rahmat-Nya mendahului
murka-Nya
bagaimanapun celakanya seseorang itu
ia masih berhak mendapat
rahmat Allah di atas
dunia ini dan
ia akan
mendapat
perhatian juga dari-Nya
Demikian cinta Allah kepada kita yang seharusnya kita balas dengan yang lebih baik lagi.
Kalau kita tidak membalas, maka kita adalah hamba yang sama sekali tidak tahu membalas budi.
Karena bagaimanapun juga kita harus membalas budi, kita harus mencintai Allah dari segala perhatian-Nya.
Ia habiskan waktunya untuk kita, maka seharusnya kitapun demikian pula. Demikian jika kita manusia yang berbudi.
dari sekian
makhluk Allah
manusia adalah
makhluk yang mengenal budi
budi pekerti
adalah hiasan yang paling tinggi
semoga 12 bulan mendatang
penuh keimanan, 52 minggu penuh
ketakwaan, 365 hari dengan ibadah
8,760 jam penuh keihsanan
dan 525.600 menit
penuh
dengan keikhlasan
CINTA
RAHASIA WUJUD WALMAUJUD
------------------------------------
Cinta
bukanlah sesuatu
yang harus dipelajari
dari manusia melainkan sebagai
karunia Tuhan dan berasal dari kasih
dan sayang-Nya
***
makhluk Allah
manusia adalah
makhluk yang mengenal budi
budi pekerti
adalah hiasan yang paling tinggi
semoga 12 bulan mendatang
penuh keimanan, 52 minggu penuh
ketakwaan, 365 hari dengan ibadah
8,760 jam penuh keihsanan
dan 525.600 menit
penuh
dengan keikhlasan
CINTA
RAHASIA WUJUD WALMAUJUD
------------------------------------
Cinta
bukanlah sesuatu
yang harus dipelajari
dari manusia melainkan sebagai
karunia Tuhan dan berasal dari kasih
dan sayang-Nya
***
Uraian cinta dan aplikasinya bagi orang Sufi memberikan rumusan dalam menyelesaikan persoalan pelik yang selama ini tidak terbuka bagi orang-orang filosofi.
Orang-orang Filosofi terus bertanya kepada sesamanya dan kepada orang lain tentang ’kehidupan’ mulai arti, tujuan kita dijadikan dan tugas kita berikutnya.
Orang-orang filosofi berargumentasi dengan dalil rasio dan pelbagai jawaban ilmiah lainnya.
Tapi orang-orang Sufi memberikan jawaban dengan mudah dan tegas dengan interpretasi kesufiannya ;
kita dijadikan Allah
karena Allah suka sekali dikenal
setelah kita dijadikannya, IA memperkenalkan
dirinya kepada kita, lalu perkenalan itu
kita sambut dengan menimbulkan
cinta mencintai antara
kita dengan-Nya
cinta Allah kepada kita
menjadikan kita
menghabiskan
waktunya
membela kita
dan cinta kepada Allah
menyembah-Nya, memuji-Nya
dan mengagungkan-Nya dengan segala
cara yang telah diajarkan-Nya kepada kita.
dan jika seseorang
memiliki cinta maka dia
tidak lagi tunduk di bawah
kekuatan yang lebih besar
dari dirinya sendiri
sebab dia sendiri
sudah menjadi
kekuatan
yang
besar
karena Allah suka sekali dikenal
setelah kita dijadikannya, IA memperkenalkan
dirinya kepada kita, lalu perkenalan itu
kita sambut dengan menimbulkan
cinta mencintai antara
kita dengan-Nya
cinta Allah kepada kita
menjadikan kita
menghabiskan
waktunya
membela kita
dan cinta kepada Allah
menyembah-Nya, memuji-Nya
dan mengagungkan-Nya dengan segala
cara yang telah diajarkan-Nya kepada kita.
dan jika seseorang
memiliki cinta maka dia
tidak lagi tunduk di bawah
kekuatan yang lebih besar
dari dirinya sendiri
sebab dia sendiri
sudah menjadi
kekuatan
yang
besar
Allah telah menjadikan kita
tanpa permintaan kita dan tanpa ada
suatu keuntungan bagi-Nya, hanya karena
IA suka dikenal maka dijadikan-Nya kita
Tuhan menjadikan kita
supaya kita mencintai-Nya
memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya
dan lain sebagainya dengan sujud yang
banyak dan daim di hadapan-Nya dengan
untaian sejuta doa di setiap waktu.
Jika perintah Tuhan kepada kita dapat kita laksanakan sesuai dengan kehendak-Nya, maka
berbahagialah kita.
Cinta Allah kepada kita menjadi nikmat bahagia yang kekal yang tidak akan lenyap dan usang sepanjang masa.
Kemudian setiap bertambah keimanan seseorang, maka bertambah pula cintanya kepada Allah, tatkala bertambah cintanya kepada Allah, bertambah eratlah dan banyak buhulan dengan-Nya.
Dengan demikian ia telah mendapat pedoman hidup dan hakikat kehidupan, itulah arti nikmat yang kekal, merupakan pedoman dalam mengitari dilema kehidupan.
Apabila maqam cinta kita kepada Allah sampai pada titik ‘maqamulhubb’ akan membawa ruh kepada sesuatu ‘lathifah’ yang ridha dan tenang.
siapa yang mencintai Allah
maka Allah akan
mencintainya
dan selalu ingat
Allah sahabat saya
penderitaan teman saya
ilmu senjata saya
cinta saya
ada
dalam
shalat saya
maka Allah akan
mencintainya
dan selalu ingat
Allah sahabat saya
penderitaan teman saya
ilmu senjata saya
cinta saya
ada
dalam
shalat saya
Cinta kepda Allah akan menghantarkan setiap orang yang telah memiliki cinta tersebut dengan penuh ketenangan ”luthfullah” suatu maqam yang cukup mengasyikkan.
Allah dicintainya
secara mutlak yang
merupakan tuntutan dari
definisi c i n t a
secara mutlak yang
merupakan tuntutan dari
definisi c i n t a
Jika cintanya kepada Allah belum sampai kepada taraf ini, maka cintanya tentu belum definitif, masih dalam perkembangan maka ia melihat kepada segala yang ada di alam ini, berkhidmat dan tidak sia-sia.
Hatinya bersama hati orang yang dicintainya, kecintaan orang yang dicintainya itu adalah lambang kecintaannya sendiri.
Amir bin Qais, berucap ;
saya telah mencintai Allah
dengan cinta yang
dalam
yang menyebabkan
saya rela menerima setiap
ujian dan musibah di setiap hal
dan keadaan, baik pagi maupun petang
dengan cinta yang
dalam
yang menyebabkan
saya rela menerima setiap
ujian dan musibah di setiap hal
dan keadaan, baik pagi maupun petang
Umar bin Abdul Aziz berucap tentang cinta ;
tatkala anaknya Saleh meninggal
beliau berucap ; Allah mencintai mengambil
anak saya, saya mencintai sesuatu hal
yang bertentangan dengan
kehendak-Nya.
c i n t a
sesuatu yang indah
dan mengasyikkan, makrifah
kepada Allah
suatu
perwujudan
hakikat
cinta
yang mendalam
***
Tuhan
cinta ini membeku
mengalun merdu
semarak wajah-Mu
r i n d u
***
sesuatu yang indah
dan mengasyikkan, makrifah
kepada Allah
suatu
perwujudan
hakikat
cinta
yang mendalam
***
Tuhan
cinta ini membeku
mengalun merdu
semarak wajah-Mu
r i n d u
***
Menurut pandangan Sufi bahwa kecintaan mereka kepada taraf “maqamulhubb” dengan jiwa yang mengasyikkan yang merasakan kelezatan ‘rabbani’ yang asyiqin tenggelam dalam “wajdan filhubb” yakni mendapatkan sesuatu yang dicari di dalam cinta.
Ini adalah suatu rahasia yang suci antara Khaliq dan makhluk suatu “tajalli” kasih antara orang-orang yang bercinta.
Menurut mereka, cinta kepada Tuhan membawa orang-orang mukmin kepada taraf hayat yang menjadi sumber keberhasilan bagi dirinya dalam suatu alam yang penuh ridha dan kebahagiaan.
A l l a h
Mencintai makhluk-Nya
dan makhluk semestinya mencintai Rabb-Nya
jadi Allah mencintai dan dicintai
***
cinta – mencintai
suatu samudra yang mengasyikkan
tenggelam dalam kerinduan
***
cinta kepada Allah
sumber segala kerelaan
dan kebahagiaantanpa cinta kepada Allah
manusia berubah
menjadi
suatu
padang pasir
yang tandus, hanya
didatangi oleh burung-burung
keraguan dan kesesatan
mencari bangkai-bangkai manusia
yang terdiri dari sifat-sifat
murka, laknat yang
penuh
kebejatan
***
Mencintai makhluk-Nya
dan makhluk semestinya mencintai Rabb-Nya
jadi Allah mencintai dan dicintai
***
cinta – mencintai
suatu samudra yang mengasyikkan
tenggelam dalam kerinduan
***
cinta kepada Allah
sumber segala kerelaan
dan kebahagiaantanpa cinta kepada Allah
manusia berubah
menjadi
suatu
padang pasir
yang tandus, hanya
didatangi oleh burung-burung
keraguan dan kesesatan
mencari bangkai-bangkai manusia
yang terdiri dari sifat-sifat
murka, laknat yang
penuh
kebejatan
***
Cinta itu bukanlah sekedar tenang dan rela saja, tapi cahaya nurani yang berlabuh di atas ufuk jiwa manusia menerangi segala telaga keindahan yang dapat memberi ilham secara khusyuk dan taqarrub kepada-Nya yang melahirkan gerak dan renungan tentang malakut Allah yang menerbitkan penyelidikan terhadap rahasia yang penuh asrar.
Dan melahirkan keimanan mendatangkan pelbagai pengetahuan dalam sentuhan perasaan yang berisi tunduk di hadapan Tuhan yang membukakan segala sesuatu rahasia kepada-Nya.
Ahli-ahli Sufi mencintai Allah
bukan karena takut neraka-Nya dan
bukan pula mengharap syurga-Nya tapi
karena mereka mencintai-Nya.
cinta dalam nilai ini
atau yang lebih dari ini
tidak dikenal orang selain
dalam kalangan ahli-ahli sufi
yang ’rabbany’ hidup dan matinya
berhubungan langsung dengan Allah
sekaligus mendidik manusia lainnya hidup
dalam mencintai Allah semata.
kerinduan yang mendalam
kepada Allah melahirkan sosok
cinta ’tajalli’ kepada-Nya.
kepada Allah melahirkan sosok
cinta ’tajalli’ kepada-Nya.
Apabila manusia-manusia kebanyakan/awam mengharapkan syurga sebagai tujuan tertinggi/akhir dari segala amal mereka maka bagi ahli sufi, syurga besar yang paling tinggi yang mereka harapkan adalah keridhaan Allah dan bertemu dengan-Nya.
Neraka besar yang amat ditakuti kaum sufi bukan neraka yang apinya menyala-nyala dan bahan bakarnya terdiri dari jin dan manusia, tapi jauh dari Allah, jauh dari mencintai dan dicintai Allah, jauh dari mihrab munajat dengan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.
nikmat bercinta
kalau sudah bertemu
dan bertatap muka suatu
komunikasi yang indah dan mengasyikkan
lambaian keindahan
apabila penuh pengertian
dan keridhaan dalam perwujudan
memupuk cinta
yang
merupakanhakikat titik pertemuan
tajalli habiburrahman
ya salam
kalau sudah bertemu
dan bertatap muka suatu
komunikasi yang indah dan mengasyikkan
lambaian keindahan
apabila penuh pengertian
dan keridhaan dalam perwujudan
memupuk cinta
yang
merupakanhakikat titik pertemuan
tajalli habiburrahman
ya salam
Abu Yazid al-Bistami berujar ;
orang banyak takut mati
tetapi saya menginginkannya
nanti apabila hari kiamat dan datang
hisab, Tuhan memanggilku, maka kujawab;
labbaik ya Rabb-ku dan akupun taat
terhadap kehendak-Nya.
ya Allah
saya memohon kepada-Mu
akan kerinduan melihat wajah-Mu
rindu
bertemu dengan-Mu
subhanallah
saya memohon kepada-Mu
akan kerinduan melihat wajah-Mu
rindu
bertemu dengan-Mu
subhanallah
DAFTAR PUSTAKA
1. Asmawi,H.M.E “alhubb”
Damascus Syrian Arab Republic 1987
Jaridah Tesyrin
2. Abbas, Zainal Arifin, Hj “ilmu Tasauf”
Kuala Lumpur Malaysia 1984
3. Hujwiri, Dr, “Kasyf el-Mahjub”
Libanon 1937
4. Akhlaqu Ahlil Qur’an –Al-Ajuri-Tahqiq Muhammad Amru Abdul Latif-Darul Kutub Al-Ilmiyah – Cetakan 1 -1406 H
5. Min A’lamit Tarbiyah al-Islamiyah –Maktab at-Tarbiyah al-Araby- 1409 H
6. Jami’ Bayanil Ilmi wa fadhlih –Ibnu Abdil Bar- Darul Kutub al-Ilmiyah
7. Ar-Ramahurmuzi-Tahqiq M.Ajjaj Khatib Cetakan 3 – 1404 H
Effendy Asmawi Alhajj
Dilahirkan di Jantur Kutai Kartanegara, 24 November 1964 dari SLTA melanjutkan study ke Damascus Syrian Arab Republic kemudian Malaysia dan pernah melanglang buana ke Eropa, Timur Tengah, Australia dan Asia.
Anak ke-4 dari 9 bersaudara pasangan Bapak Asmawi dan Ibu Khamsiyah ini, mempunyai hobby membaca kemudian memproduksikan kembali dalam tulisan. ---------------------------
CINTA (dalam perspektif Tasauf) ini memberikan kedalaman makna entitas cinta yang selalu dinamis dan cinta bukanlah sesuatu yang harus dipelajari dari manusia melainkan sebagai karunia Tuhan dan berasal dari kasih dan sayang-Nya.----------------------------------
dan jika kita sudah memiliki cinta
berarti kita sudah mendapatkan
sesuatu kekuatan dalam
diri kita sendiri
subhanallah
berarti kita sudah mendapatkan
sesuatu kekuatan dalam
diri kita sendiri
subhanallah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar