Adalah John Dewey, filosof pendidikan kenamaan yang secara pasti mengatakan bahwa pendidikan adalah metode yang paling fundamental di dalam kemajuan sosial dan reformasi.
Menurut John Dewey, pendidikan adalah sarana par excellent yang menumbuhkan kehidupan demokrasi (dalam Tilaar, 2000 : p. 34).
Pendapat ini menarik dan tepat, sebab bagaimana mungkin demokrasi dapat berjalan baik jika masyarakat kurang terdidik untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga yang beradab.
Lihat saja bagaimana tingkah kita apalagi dalam suasana seperti sekarang dan kitapun lantang bersuara dengan dalih “reformasi” bung.
Perbedaan pendapat para elit politik tidak diwujudkan dalam perdebatan di parlemen dengan adu argumentasi yang nuchter, tapi secara kurang bertanggungjawab diturunkan menjadi aksi-aksi sepihak dalam bentuk kekerasan massa.
Anehnya lagi, adu argumentasi di parlemen maupun media massa secara terbuka malah oleh sementara kalangan yang sudah telanjur dininabobokan oleh situasi “seakan-akan demokratis” di era orde baru justru dianggap sebagai perbuatan yang membahayakan persatuan.
Padahal semacam itulah yang menjadi kembangnya demokrasi.
Kembali kepada soal pendidikan sebagaimana disebut Jhon Dewey di atas, bagi kita persoalannya menjadi tidak sederhana.
Sebab hampir segala sektor, politik, ekonomi, hukum termasuk pendidikan kita, bangun sistemnya belum terjalin menjadi satu kesatuan sistem sosial yang memadai.
Di sektor politik, misalnya kita memang telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan ke arah situasi yang lebih demokratis.
Amandemen UUD 1945 adalah tonggak penting kea rah demokratisasi sistem politik kita.
Akan tetapi, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bagaimana ketidak siapan sebahagian masyarakat termasuk para politisi dan birokrat untuk hidup dalam suasana yang terbuka seperti yang diamanatkan UUD yang telah diamandemen; masih ada saja birokrat yang alergi pada kritik anggota parlemen, masih banyak politisi yang samimawon, bukan hanya adu argumentasi tapi menggunakan ototnya.
Hal ini berarti dari sisi pendidikan, ada sesuatu yang salah pada diri kita. Tingkah laku politik seperti itu sedikit banyaknya diakibatkan oleh proses pendidikan politik yang tidak berjalan baik.
Meminjam istilah Prof. Dr. Winarno Surakhmad, “para politisi dan birokrat itu cuma tersekolahkan, tidak terdidik”.Dalam bahasa teman-teman saya, hanya masuk madrasah, tapi tidak menerima didikan madrasah.
Khusus dalam sektor pendidikan, ada empat masalah pokok dan pokok masalah yang dialami oleh madrasah kita dewasa ini.
Pertama kepala madrasah belum mampu membawa visi madrasah itu ke level tertinggi dengan alasan finansial yang pas-pasan (pengganti kata dari kekurangan), kedua kemampuan manajemen kepala madrasah pada umumnya rendah, ketiga tuntutan dinamika kehidupan yang serba menuntut dan keempat kecilnya perhatian / peran masyarakat kita dalam pengelolaan madrasah.
Implikasi dari nilai tersebut memberikan otonomisasi kepada madrasah dengan memberikan bimbingan dan koridor minimal dalam pengelolaan madrasah yang dinamis sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang diharapkan.
Jangan madrasah dibiarkan dalam ketidak mampuannya hingga “hidup segan matipun tak mau”.
Madrasah oh madrasah. Tapi persoalannya memang tidak sesederhana itu. Sebab pendidikan kita, apalagi pendidikan politik kita masih jauh api dari panggang.
Kendati demikian, membangun sistem madrasah sama ruwetnya dengan membangun sistem perpolitikan kita yang selalu tebar pesona dalam dinamika dan perkembangannya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar