Effendy Asmawi Alhajj

Jumat, 23 Maret 2012

QUO VADIS MADRASAH ?



MADRASAH (baca: MI, MTs., MA) adalah lembaga pendidikan formal yang merepresentasikan komitmen umat Islam Indonesia dalam bidang pendidikan. Eksistensi madrasah diakui sebagai bagian sistem pendidikan nasional yang tidak dibedakan dari lembaga pendidikan umum sejenis sebagaimana diatur pasal 17 dan 18 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pengakuan yuridis itu menjadi modal potensial bagi peningkatan peran madrasah dalam upaya pembangunan sektor pendidikan yang berkeadilan.

Dewasa ini, terdapat 5,9 juta anak yang sedang belajar di bangku madrasah. Mayoritas (85,2%) dari mereka berlatar kehidupan keluarga miskin dan kurang beruntung sehingga 10% dari jumlah tersebut mengalami putus sekolah (Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2005-2006). Anak-anak dari kaum miskin itu adalah warga negara Indonesia asli yang nasibnya kurang beruntung. Mereka memiliki kapasitas otak yang sama dengan anak-anak yang lebih beruntung, tetapi ruang memori dan sensitivitas syaraf otak mereka terhadap pengetahuan masih belum banyak diberdayakan.
Genealogi madrasah memang lahir dari masyarakat pinggiran yang kemudian menjadi ciri identitas historis yang sulit dipisahkan dari dinamika madrasah dewasa ini. Kenyataan bahwa lebih dari 70% madrasah berada di perdesaan dapat menjadi gambaran betapa faktor geografis menjadi penghambat akses pendidikan bermutu bagi mayoritas siswa madrasah.
-1-
Selain itu, populasi madrasah swasta yang mencapai 91,4% tidak hanya dapat dimaknai dari besarnya peran masyarakat sebagai sesuatu yang mengagumkan, tetapi juga perlu dilihat dari dampak efek domino status tersebut. Madrasah swasta di negeri ini masih sulit diidentikan dengan jaminan kualitas, walaupun sejumlah kecil berhasil menegasikan diri dari kenyataan ini dan tampil sebagai lembaga kompetitif.
Anatomi persoalan
Madrasah, sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, dihadapkan pada sejumlah persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Persoalan itu menyangkut masalah klasik seperti kelemahan infrastruktur, sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas calon siswa, kurikulum, proses pembelajaran, dan manajemen kelembagaan. Masalah tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh kondisi awal yang melibatkan banyak aspek.
Pendirian madrasah swasta, misalnya, seringkali kurang mempertimbangkan pemenuhan aspek mutu pelayanan pendidikan. Patron individual atau kelompok yang mendirikan madrasah kurang memperhitungkan risiko-risiko yang akan muncul kemudian. Inisiatif semacam ini memang layak diapresiasi, tetapi kenyataan bahwa sulitnya upaya peningkatan mutu madrasah lebih banyak diakibatkan oleh sejumlah ariable kelemahan, terutama pada madrasah berstatus swasta.

-2-
Dari sisi pengembangan kurikulum, tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan. Madrasah menghadapi dua pilihan sulit antara dua kebutuhan yang berbeda selama rekonstruksi dan sistematisasi tujuan metafisik pendidikan Islam belum terumuskan dengan baik.
Di satu sisi, lembaga ini dituntut untuk meningkatkan pemahaman ilmu agama dan pengamalan ajaran Islam, namun di sisi lain ia harus mampu menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak semuanya dapat dipecahkan dengan ilmu agama.
Persaingan antara lembaga pendidikan juga menjadi persoalan yang dihadapi madrasah ketika kompetisi itu dilandasi pertarungan identitas. Pertarungan identitas berlaku pada disparitas sekolah umum dengan madrasah, negeri dengan swasta, afiliasi dengan nonafiliasi, dan simpul-simpul pembeda lainnya. Bahkan kepentingan identitas ironisnya dapat terjadi pada tataran kebijakan departemen yang sama-sama mengelola pendidikan.
Persoalan demikian berimbas pada kurang proporsionalnya perhatian terhadap madrasah dan madrasah swasta acapkali menjadi victim atas perhelatan berbagai kepentingan.
Ikatan emosional masyarakat terhadap madrasah juga perlu diperjuangkan. Kini, ada kecenderungan bahwa ikatan emosional terhadap madrasah semakin luntur seiring dengan menguatnya pertimbangan
-3-
rasional dalam menentukan preferensi pendidikan bagi anak. Oleh karena itu, anggapan lama yang selalu mengedepankan kuatnya ikatan emosional terhadap madrasah boleh jadi hanyalah sebuah romantisme karena dalam kenyataannya madrasah dihadapkan pada tantangan yang makin sulit dalam merebut simpati masyarakat luas, terlebih pada masyarakat perkotaan.
Kebijakan dan anggaran
Mengatasi celah antara kemestian dan kenyataan, Dirjen Pendidikan Islam semasa Jahja Umar lebih banyak menggunakan logika kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang berpihak pada kaum miskin dan swasta. Kebijakan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk beasiswa siswa miskin, beasiswa kuliah S-1 bagi santri/siswa miskin, tunjangan guru non-PNS, dan bantuan bagi madrasah swasta.
Kebijakan tersebut sebenarnya sudah tepat, tetapi anggaran bidang pendidikan untuk tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 senilai Rp 7 triliun tampaknya belum cukup untuk mengubah tradisi bantuan "hujan gerimis" menjadi bantuan "hujan lebat" kepada madrasah.
Logikanya sederhana. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti gaji guru dan tenaga kependidikan, dana BOS, BKM, BOS buku, anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta Pontren di 33 Kanwil Depag Provinsi.
-4-

Dapat dibayangkan, jika 57,1% dari anggaran sebesar itu digunakan untuk gaji guru dan 25,7% untuk program BOS, dana yang dikelola untuk tupoksi Dirjen Pendis di tingkat pusat dan daerah hanya 17,1% atau sekitar Rp 1,2 triliun, suatu jumlah yang tidak besar untuk melayani semua kebutuhan pendidikan Islam formal, nonformal, PAI di sekolah umum, dan pendidikan tinggi Islam.
Keterbatasan anggaran tampaknya menjadi salah satu penyebab sulitnya Depag mengurus madrasah. Karena itu, kebijakan pemberian bantuan kepada madrasah hanya mampu mengubah kebijakan “hujan gerimis” menjadi “hujan lebat yang dilokalisasi” melalui sejumlah bantuan kompetitif seperti bantuan kontrak prestasi dan bantuan operasional manajemen mutu (BOMM). Cara ini tampaknya dianggap lebih tepat ketimbang “kue” APBN itu dibagikan rata kepada sasaran banyak dengan jumlah yang sangat kecil.
Saat ini, anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di Depdiknas (bukan dari APBN). Namun, dengan proporsi itu masih dirasakan terlalu kecil untuk mendongkrak mutu pendidikan di madrasah yang notabene —meminjam istilah Maslow—masih dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan dasar. Sarana, prasarana, kualitas guru, input siswa, dan proses pembelajaran yang memprihatinkan menjadi problema klasik madrasah yang menjadi pekerjaan rumah Direktorat Jenderal Pendis pada masa mendatang.
Strategi jalan keluar
-5-
Untuk mengatasi madrasah agar tidak termarjinalkan dari konstelasi dinamika pendidikan nasional, kiranya ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
Pertama, Depag perlu mengupayakan strategi yang lebih tepat untuk pembangunan tiga pilar kebijakan sebagaimana diterakan dalam rencana strategi (renstra) pendidikan Depag (juga dalam renstra Depdiknas). Tiga pilar dimaksud adalah pemerataan, kualitas, dan tata kelola pendidikan.
Tiga pilar itu perlu secara konsisten dan berpihak pada kaum marjinal. Dengan kata lain, kebijakan afirmatif yang berlaku selama ini perlu diperkuat agar muara kebijakan pendidikan semakin berpihak pada kaum miskin dan madrasah swasta.
Kedua, Depag dan Depdiknas perlu bersinergi agar kebijakan pendidikan tidak melahirkan ekses yang tidak diharapkan. Kebijakan yang terkait dengan peningkatan kualitas guru, kurikulum pendidikan, bantuan infrastruktur, buku ajar, dan kebijakan inovatif lainnya perlu dilakukan dalam koridor koordinasi antardepartemen.
Secara sistemik, koordinasi ini dapat dituangkan dalam renstra pendidikan bersama sehingga implementasi pendidikan semakin menampakkan keadilan proporsional.
Ketiga, pemda (provinsi, kabupaten/kota) perlu memberikan pelayanan berkeadilan dalam membagi "kue" APBD untuk sektor pendidikan. Masalah

-6-
perbedaan kebijakan makro pendidikan antara Depag (sentralisasi) dan Depdiknas (desentralisasi) dapat diselesaikan melalui kearifan pemegang kebijakan di tingkat lokal. Madrasah harus disertakan dalam segala klausul perda pendidikan agar lebih berkeadilan.
Keempat, bantuan luar negeri baik hibah (grant) maupun pinjaman (loan) perlu lebih ditekankan pada sasaran masyarakat madrasah. Seringkali bantuan internasional hanya memandang madrasah sebagai pelengkap program. Padahal hakikat bantuan adalah untuk pihak yang benar-benar membutuhkan, seperti kondisi madrasah saat ini.
Karena itu, selama bantuan luar negeri seperti bantuan dari WB, AusAID, USAID, ADB, JICA, JBIC, dan sebagainya belum mengutamakan bantuan bagi madrasah, dapat dikatakan mereka belum sepenuhnya pro-poor.
Kelima, masyarakat perlu secara proaktif memajukan madrasah. Apabila sebuah keluarga menyekolahkan anaknya ke sekolah umum, mereka perlu menyisihkan penghasilannya untuk membantu madrasah. Cara ini diyakini dapat melahirkan kepedulian sosial yang pada gilirannya dapat membantu daya tahan dan kemajuan madrasah pada masa mendatang. Tanpa peran serta masyarakat, madrasah akan sulit bersaing dengan waktu untuk mengejar ketertinggalannya.
Risalah ini tidak dimaksudkan untuk membuat stigmasi negatif terhadap madrasah ataupun menjadi sebuah moratorium total terhadap kebijakan Depag, melainkan sebagai refleksi kristis terhadap nasib madrasah yang masih membutuhkan peran serta semua pihak.
-7-
Lebih dari itu, apa yang diuraikan di atas dapat dijadikan pelajaran (`ibrah) agar pengakuan de jure sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dapat dibuktikan secara de facto melalui upaya pelibatan semua pihak. ***
bahan dikutip : www.renstradepag.co.id








-8-













QUO VADIS MADRASAH ?

LogoBesar-depag

Disampaikan
Pada Seminar Pendidikan GRAND DESIGN MADRASAH
Pusat Informasi Haji Batam
09 Februari 2010
24 Shafar 1431

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guest Book