MADRASAH (baca: MI, MTs., MA) adalah
lembaga pendidikan formal yang merepresentasikan komitmen umat Islam Indonesia
dalam bidang pendidikan. Eksistensi madrasah diakui sebagai bagian sistem
pendidikan nasional yang tidak dibedakan dari lembaga pendidikan umum sejenis
sebagaimana diatur pasal 17 dan 18 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Pengakuan yuridis itu menjadi modal potensial bagi peningkatan peran madrasah
dalam upaya pembangunan sektor pendidikan yang berkeadilan.
Dewasa ini, terdapat 5,9 juta anak yang
sedang belajar di bangku madrasah. Mayoritas (85,2%) dari mereka berlatar
kehidupan keluarga miskin dan kurang beruntung sehingga 10% dari jumlah
tersebut mengalami putus sekolah (Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2005-2006).
Anak-anak dari kaum miskin itu adalah warga negara Indonesia asli yang nasibnya
kurang beruntung. Mereka memiliki kapasitas otak yang sama dengan anak-anak
yang lebih beruntung, tetapi ruang memori dan sensitivitas syaraf otak mereka
terhadap pengetahuan masih belum banyak diberdayakan.
Genealogi madrasah memang lahir dari
masyarakat pinggiran yang kemudian menjadi ciri identitas historis yang sulit
dipisahkan dari dinamika madrasah dewasa ini. Kenyataan bahwa lebih dari 70%
madrasah berada di perdesaan dapat menjadi gambaran betapa faktor geografis
menjadi penghambat akses pendidikan bermutu bagi mayoritas siswa madrasah.
-1-
Selain itu, populasi madrasah swasta yang
mencapai 91,4% tidak hanya dapat dimaknai dari besarnya peran masyarakat
sebagai sesuatu yang mengagumkan, tetapi juga perlu dilihat dari dampak efek
domino status tersebut. Madrasah swasta di negeri ini masih sulit diidentikan
dengan jaminan kualitas, walaupun sejumlah kecil berhasil menegasikan diri dari
kenyataan ini dan tampil sebagai lembaga kompetitif.
Anatomi persoalan
Madrasah, sebagaimana lembaga pendidikan
pada umumnya, dihadapkan pada sejumlah persoalan yang tidak mudah dipecahkan.
Persoalan itu menyangkut masalah klasik seperti kelemahan infrastruktur, sumber
daya pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas calon siswa, kurikulum, proses
pembelajaran, dan manajemen kelembagaan. Masalah tersebut sebenarnya
dilatarbelakangi oleh kondisi awal yang melibatkan banyak aspek.
Pendirian madrasah swasta, misalnya,
seringkali kurang mempertimbangkan pemenuhan aspek mutu pelayanan pendidikan.
Patron individual atau kelompok yang mendirikan madrasah kurang memperhitungkan
risiko-risiko yang akan muncul kemudian. Inisiatif semacam ini memang layak
diapresiasi, tetapi kenyataan bahwa sulitnya upaya peningkatan mutu madrasah
lebih banyak diakibatkan oleh sejumlah ariable kelemahan, terutama pada
madrasah berstatus swasta.
-2-
Dari sisi pengembangan kurikulum,
tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan.
Madrasah menghadapi dua pilihan sulit antara dua kebutuhan yang berbeda selama
rekonstruksi dan sistematisasi tujuan metafisik pendidikan Islam belum
terumuskan dengan baik.
Di satu sisi, lembaga ini dituntut untuk
meningkatkan pemahaman ilmu agama dan pengamalan ajaran Islam, namun di sisi
lain ia harus mampu menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi
kebutuhan hidup yang tidak semuanya dapat dipecahkan dengan ilmu agama.
Persaingan antara lembaga pendidikan juga
menjadi persoalan yang dihadapi madrasah ketika kompetisi itu dilandasi
pertarungan identitas. Pertarungan identitas berlaku pada disparitas sekolah
umum dengan madrasah, negeri dengan swasta, afiliasi dengan nonafiliasi, dan
simpul-simpul pembeda lainnya. Bahkan kepentingan identitas ironisnya dapat
terjadi pada tataran kebijakan departemen yang sama-sama mengelola pendidikan.
Persoalan demikian berimbas pada kurang
proporsionalnya perhatian terhadap madrasah dan madrasah swasta acapkali
menjadi victim atas perhelatan berbagai kepentingan.
Ikatan emosional masyarakat terhadap
madrasah juga perlu diperjuangkan. Kini, ada kecenderungan bahwa ikatan
emosional terhadap madrasah semakin luntur seiring dengan menguatnya
pertimbangan
-3-
rasional dalam menentukan preferensi
pendidikan bagi anak. Oleh karena itu, anggapan lama yang selalu mengedepankan
kuatnya ikatan emosional terhadap madrasah boleh jadi hanyalah sebuah
romantisme karena dalam kenyataannya madrasah dihadapkan pada tantangan yang
makin sulit dalam merebut simpati masyarakat luas, terlebih pada masyarakat
perkotaan.
Kebijakan dan anggaran
Mengatasi celah antara kemestian dan
kenyataan, Dirjen Pendidikan Islam semasa Jahja Umar lebih banyak menggunakan
logika kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang berpihak pada kaum miskin
dan swasta. Kebijakan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk beasiswa
siswa miskin, beasiswa kuliah S-1 bagi santri/siswa miskin, tunjangan guru
non-PNS, dan bantuan bagi madrasah swasta.
Kebijakan tersebut sebenarnya sudah tepat,
tetapi anggaran bidang pendidikan untuk tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dirjen
Pendidikan Islam tahun 2007 senilai Rp 7 triliun tampaknya belum cukup untuk
mengubah tradisi bantuan "hujan gerimis" menjadi bantuan "hujan
lebat" kepada madrasah.
Logikanya sederhana. Angka sebesar itu diperuntukkan
bagi banyak komponen pendidikan seperti gaji guru dan tenaga kependidikan, dana
BOS, BKM, BOS buku, anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta Pontren di 33 Kanwil Depag Provinsi.
-4-
Dapat dibayangkan, jika 57,1% dari anggaran
sebesar itu digunakan untuk gaji guru dan 25,7% untuk program BOS, dana yang
dikelola untuk tupoksi Dirjen Pendis di tingkat pusat dan daerah hanya 17,1%
atau sekitar Rp 1,2 triliun, suatu jumlah yang tidak besar untuk melayani semua
kebutuhan pendidikan Islam formal, nonformal, PAI di sekolah umum, dan
pendidikan tinggi Islam.
Keterbatasan anggaran tampaknya menjadi
salah satu penyebab sulitnya Depag
mengurus madrasah. Karena itu, kebijakan pemberian bantuan kepada madrasah
hanya mampu mengubah kebijakan “hujan gerimis” menjadi “hujan lebat yang
dilokalisasi” melalui sejumlah bantuan kompetitif seperti bantuan kontrak
prestasi dan bantuan operasional manajemen mutu (BOMM). Cara ini tampaknya
dianggap lebih tepat ketimbang “kue” APBN itu dibagikan rata kepada sasaran
banyak dengan jumlah yang sangat kecil.
Saat ini, anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran
pendidikan di Depdiknas (bukan dari APBN). Namun, dengan proporsi itu masih
dirasakan terlalu kecil untuk mendongkrak mutu pendidikan di madrasah yang
notabene —meminjam istilah Maslow—masih dihadapkan pada pemenuhan kebutuhan
dasar. Sarana, prasarana, kualitas guru, input siswa, dan proses pembelajaran
yang memprihatinkan menjadi problema klasik madrasah yang menjadi pekerjaan
rumah Direktorat Jenderal Pendis pada masa mendatang.
Strategi jalan keluar
-5-
Untuk mengatasi madrasah agar tidak
termarjinalkan dari konstelasi dinamika pendidikan nasional, kiranya ada
beberapa cara yang dapat dilakukan.
Pertama, Depag perlu mengupayakan strategi yang
lebih tepat untuk pembangunan tiga pilar kebijakan sebagaimana diterakan dalam
rencana strategi (renstra)
pendidikan Depag (juga dalam renstra Depdiknas). Tiga pilar dimaksud
adalah pemerataan, kualitas, dan tata kelola pendidikan.
Tiga pilar itu perlu secara konsisten dan
berpihak pada kaum marjinal. Dengan kata lain, kebijakan afirmatif yang berlaku
selama ini perlu diperkuat agar muara kebijakan pendidikan semakin berpihak
pada kaum miskin dan madrasah swasta.
Kedua, Depag
dan Depdiknas perlu bersinergi agar kebijakan pendidikan tidak melahirkan ekses
yang tidak diharapkan. Kebijakan yang terkait dengan peningkatan kualitas guru,
kurikulum pendidikan, bantuan infrastruktur, buku ajar, dan kebijakan inovatif
lainnya perlu dilakukan dalam koridor koordinasi antardepartemen.
Secara sistemik, koordinasi ini dapat
dituangkan dalam renstra
pendidikan bersama sehingga implementasi pendidikan semakin menampakkan
keadilan proporsional.
Ketiga, pemda (provinsi,
kabupaten/kota) perlu memberikan pelayanan berkeadilan dalam membagi
"kue" APBD untuk sektor pendidikan. Masalah
-6-
perbedaan kebijakan makro pendidikan
antara Depag (sentralisasi) dan
Depdiknas (desentralisasi) dapat diselesaikan melalui kearifan pemegang
kebijakan di tingkat lokal. Madrasah harus disertakan dalam segala klausul
perda pendidikan agar lebih berkeadilan.
Keempat, bantuan luar negeri
baik hibah (grant) maupun pinjaman (loan) perlu lebih ditekankan pada sasaran
masyarakat madrasah. Seringkali bantuan internasional hanya memandang madrasah
sebagai pelengkap program. Padahal hakikat bantuan adalah untuk pihak yang
benar-benar membutuhkan, seperti kondisi madrasah saat ini.
Karena itu, selama bantuan luar negeri
seperti bantuan dari WB, AusAID, USAID, ADB, JICA, JBIC, dan sebagainya belum
mengutamakan bantuan bagi madrasah, dapat dikatakan mereka belum sepenuhnya
pro-poor.
Kelima, masyarakat perlu secara
proaktif memajukan madrasah. Apabila sebuah keluarga menyekolahkan anaknya ke
sekolah umum, mereka perlu menyisihkan penghasilannya untuk membantu madrasah.
Cara ini diyakini dapat melahirkan kepedulian sosial yang pada gilirannya dapat
membantu daya tahan dan kemajuan madrasah pada masa mendatang. Tanpa peran
serta masyarakat, madrasah akan sulit bersaing dengan waktu untuk mengejar
ketertinggalannya.
Risalah ini tidak dimaksudkan untuk
membuat stigmasi negatif terhadap madrasah ataupun menjadi sebuah moratorium
total terhadap kebijakan Depag,
melainkan sebagai refleksi kristis terhadap nasib madrasah yang masih
membutuhkan peran serta semua pihak.
-7-
Lebih dari itu, apa yang diuraikan di atas
dapat dijadikan pelajaran (`ibrah) agar pengakuan de jure sebagaimana
diamanatkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dapat dibuktikan secara de facto
melalui upaya pelibatan semua pihak. ***
bahan dikutip : www.renstradepag.co.id
-8-
QUO VADIS
MADRASAH ?
Disampaikan
Pada Seminar
Pendidikan GRAND DESIGN MADRASAH
Pusat Informasi
Haji Batam
09 Februari 2010
24 Shafar 1431
Tidak ada komentar:
Posting Komentar