Jamaah Rahimakumullah,
Pagi ini pajar Syawal 1428 H memancarkan sinar kemenangan, ditandai dengan takbir, tahmid dan tahlil menghantarkan kita ke penghujung Ramadhan yang menggoreskan seberkas prestasi ibadah puasa kita sebagai pengakuan imani kepada-Nya.
Dan inilah kurikulum kehidupan Ramadhan yang disabdakan Rasul saw ;
…barangsiapa yang berpuasa ramadhan dengan “imanan dan ihtisaban”maka Allah hapuskan segala dosanya yang akan datang…
Betapa indah kenangan yang ditinggalkan ramadhan, berulang-ulang ritme peristiwa religius ini melintas di tengah-tengah atmosfir kehidupan kita sesuai dengan dinamika usia kita.
Namun sayang, kita tidak mampu menyikapi secara relegi dan hakiki. Idulfitri sering kita asosiasikan dan sosialisasikan secara kerdil dan sempit.
Barangkali terlalu rendah nilai Idulfitri, jika hanya kita presentasikan dalam format pakaian baru, ketupat lebaran, tukar-menukar parcel, kiriman sms, kiriman kartu lebaran dan lain sebagainya asesoris hedonisme duniawi.
Sebab Idulfitri lebih tinggi derajatnya dari segala bentuk gegap-gempitanya pesta hura-hura pasca ramadhan.
Simbolisme religius Idulfitri tidak bisa diwakili oleh romantisme kultural forum halal bi halal, karena tidak bersentuhan sama sekali dengan dialektika baik nilai sosial maupun teologis yang sesungguhnya dikandung dan dituntut oleh konteks nilai Idulfitri itu sendiri.
Sehingga Idulfitri bukanlah milik mereka yang berpakaian baru, punya makanan yang lezat, bisa pulang kampung – mudik lebaran atau bukan pula milik mereka yang secara demonstratif larut dalam ritus ”halal bi halal” ala tradisi kebudayaan kita selama ini.
Idulfitri milik hamba Allah yang tingkat kepatuhan Ilahiyahnya menyubur, mentalitas religiusnya membaik, perspektif dimensi khilafahnya bersifat makruf dan langit-langit rohaninya penuh taburan nuansa takwa plus kebersihan hati dan lingkungannya, terpelihara, adipura ruhi dan jasadinya membentang keteladanan, lulus menjadi manusia sejati – kembali, lahir dari sejarah pengembaraan dalam mencari dan menemukan simpul-simpul kebenaran Ilahi, sehingga jati diri dan etos kemakhlukan insaniyahnya menjadi semakin paripurna.
JAMAAH RAHIMAKUMULLAH,
Sungguh teramat panjang rentang sejarah, realitas wacana keagamaan kita terperangkap dalam sangkaan-sangkaan kerdil tentang kesucian Idulfitri.
Mengapa ketika peta pemahaman agama semakin luas dan gairah keimanan semakin meningkat tetapi Idulfitri masih tetap kita aktualisasikan secara konservatif dan sempit sebagai kelegaan personal dan kegembiraan sosial sesaat, dalam bentuk budaya konsumtivisme ? Bukankah hal ini bermakna bahwa ajaran agama berupa puasa ramadhan terkesan sebagai pengekangan atau keterpaksaan ritus, bukan kepatuhan religius yang ditaruh di atas basis keimanan ?
Kemudian ketika kekangan tersebut dilepaskan, maka kitapun tenggelam dalam euphoria ”balas dendam” ! Tidakkah fenomena seperti ini sangat bertolak belakang dengan kontekstual ramadhan yang mengajarkan ”imsak” / nilai-nilai menahan dalam berbagai aspek untuk diimplementasikan di luar bulan suci ramadhan ?.
Sangat disayangkan, justru di Idulfitri ini sering terjadi proses sublimasi nilai-nilai . Gerbang Syawal yang semestinya merupakan langkah awal restorasi jatidiri, untuk menapak hari esok yang lebih religi, tetapi sering kita kotori dengan sangkaan-sangkaan takhayul tantang ajaran agama, melalui prilaku foya-foya dan kemubabadziran yang sangat bersinggungan dengan kekufuran dan prilaku setan.
Al-Qur’an mengingatkan ;
...”sesungguhnya mubadzir itu, bersaudara kembar dengan setan dan setan adalah musuh yang nyata”...
Di pentas Idulfitri, kita mempertontonkan kembali sepak terjang kita sebenarnya, wajah bopeng kita sesungguhnya yang penuh keserakahan, kecurangan, kecongkakan, asosial, asusila, penuh tipu daya dalam melakukan perampokan-perampokan struktural terhadap milik hak-hak orang lain.
Padahal Idulfitri menurut filosofi syariat agama adalah hari kemenangan. Kemenangan yang fithri (suci) melalui proses pembasuhan kedekilan masa lalu dengan metode berpuasa di bulan Ramadhan.
Tetapi melalui sebuah perenungan jujur dan bening, berhakkah kita memperoleh kemenangan tersebut, jika level dan kualitas puasa Ramadhan kita baru pada tingkat elementery, tingkat dasar, sebatas tidak makan dn tidak minum dari imsak hingga berbuka ?
Sementara kita masih belum sanggup melaksanakan puasa sosial, puasa ekonomi dan puasa-puasa lainnya yang tidak menggunakan sewenang-wenang pedang kekuasaan yang kita genggam dan puasa agar tidak menindas antar sesama ?
Kita manusia pada filosofnya adalah anak-anak yang tak pernah dewasa yang dalam dinamikanya dikendalikan dan dikungkung oleh keegoan diri kita, perilaku kanibalisme antar sesama merupakan catatan yang tidak pernah usang dalam prasasti sejarah kehidupan anak manusia.
Kita sering mempertahankan ego pendapat kita dan bahkan kita mengabaikan pendapat orang lain, kita bersikeras dengan satu hujjah dan menganggap remeh hujjah orang lain.
Itulah panggung peradaban kita dalam rivalitas keegoan kita, al-Qur’an mengingatkan kita, manusia itu ;
...” dzalim lagi bodoh ”...
JAMAAH RAHIMAKUMULLAH,
Persoalan kalah – menang, lemah – kuat, menguasai dan dikuasai adalah sejarah peradaban manusia, karena kemenangan dalam peta pemahaman budaya kita adalah bagaimana menciptakan kekalahan terhadap pihak lain.
Kemenangan sejati ( ) bukanlah kemenangan atas kekalahan orang lain. Kemenangan sejati adalah kemenangan menghadapi diri sendiri dalam menaklukkan nafsu keakuan yang berkobar-kobar.
Bukankah sabda popular Rasul saw mengatakan bahwa kemenangan agung itu hanya bisa diperoleh melalui peperangan sengit melawan hawa nafsu sendiri !
Musuh utama kita bukanlah siapa-siapa, melainkan nafsu kita sendiri, peperangan tersebut telah kita laksanakan sebulan penuh melalui metode puasa Ramadhan.
Hakikat puasa Ramadhan adalah upaya untuk memerdekan diri dari segala jajahan nafsu sendiri guna memperoleh kembali kefitrian diri yang sejati, karena kefitrian inilah sebenarnya dicari dan diharapkan oleh jiwa manusia yang hakikatnya memang fitri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar